TAREKAT SYADZILIYAH
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Komarudin, M. Ag.
Disusun
Oleh:
Ummi Hanik (121111104)
FAKULTAS
DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Secara definisi, tarekat itu merupakan metode
psikologi untuk mendekati Tuhan dengan menggunakan perantara seorang imam atau
biasa disebut dengan mursyid al-thariqah.
Menurut AJ Arberry, organisasi tarekat ini
mulai muncul pada abad ke-6 H/12 M. Tarekat-tarekat yang berkembang mulai saat
itu dan hidup dengan subur hingga kini diantaranya adalah Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Suhrawardiyah, Syadziliyah, Rifaiyah, Maulawiyah, dst.[1]
Hampir
seluruh tarekat memiliki pranata dalam bentuk ajaran seperti baiat, tawajuhan,
khalwat, dan dzikir. Pranata dan ajaran terekat itu kemudian membentuk suatu
orde keagamaan yang membentuk struktur kehidupan komunitas penganut tarekat
yang ketat, kuat dan tertutup. Dalam kelompok yang dilandasi satu ajaran agama,
keyakinan keagamaan anggota-anggota kelompok itu menjadi amat kuat dan mantap.[2]
Berikut ini akan penulis uraikan pokok-pokok
ajaran tarekat Syadziliyah, agar pembaca dapat mengetahui amalan-amalan apa
saja yang di lakukan penganut tarekat Syadziliyah.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
sejarah lahirnya tarekat Syadziliyah?
B.
Bagaimana
penyebaran ajaran tarekat Syadziliyah?
C.
Apa saja
pokok-pokok ajaran sufistik yang terdapat dalam tarekat Syadziliyah?
D.
Bagaimana
silsilah perguruan Tarekat Syadzaliyah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Lahirnya Tarekat Syadziliyah
Secara lengkap nama pendirinya
adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah
keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin
Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah,
anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan
silsilah keturunannya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd. Jabbar bin
Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin Muhammad bin
Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Dia dilahirkan di desa Ghumara,
dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti
al-Muwahhidun mencapai titik nadinya.
Pendidikannya dimulai dari kedua
orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan ke pendidikan yang lebih lanjut, yang
mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar ‘Abd. al-Salam Ibn Msyisy
(w. 628 H/1228 M), yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb
para Wali”, seperti halnya Syaikh ‘Abd. al-Qadir al-Jilani (w. 561
H/1166 M).[3]
Ketika masuk ke Irak, pertama kali beliau bergaul dengan Abu al-Fath. Setelah
itu ke Maroko bertemu dengan Abd al-Salam ibn Mashish, gurunya, tepatnya di
kota Fez, yang hidup secara mengasingkan diri di atas Jabal Alam.[4]
Sepeninggal al-Shadzili,
kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk
langsung oleh al-Shadzili. Ia lahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan
meninggal pada 686 H/1287 M di Alexandria. Di kota kelahirannya, juga lahir sufi
dan ulama’ terkenal Ibn al-Arabi dan Ibn Sab’in yang terakhir ini dilahirkan
hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi. Setelah dewasa, al-Mursi dan kakaknya
beserta kedua orangtuanya berangkat menunaikan ibadah haji. Di tengah
perjalanan, kapal yang ditumpanginya tenggelam di Teluk Aljazair. Dalam
malapetaka itu kedua orangtuanya meninggal, namun ia dan saudaranya berhasil
menyelamatkan diri.[5]
Diantara murid al-Mursi adalah
al-Bushiri (w. 694 H / 1295 M), penyair Mesir yang berasal dari Berber yang
amat terkenal dengan dua shairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad,
yakni al-Burdah (Shair Jubah) dan Hamziyyah yang keduanya sering dilantunkan
pada peringatan Maulid Nabi. Murid yang lain adalah Shekh Najm al-Din
al-Isfahani (w. 721 H /1321 M), beliau berkebangsaan Persia yang lama menetap
di Makkah dan menyebarkan ajaran Shadziliyyah kepada para jamaah haji. Beliau
juga merupakan guru Shadziliyyah bagi al-Yafi’i (w. 768 H/1367 M). Melalui
al-Yafi’i tarekat Ni’matullahi yang beraliran Syi’ah mengadakan hubungan dengan
Shadhiliyyah. Termasuk murid al-Mursi adalah Shekh Ibn Ata’illah (w. 709 H/1309
M). Beliau merupakan guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat
Shadziliyyah.
Shekh Ibn Ata’illah mewariskan
sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru,
yaitu Shekh Abu al-Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku yaitu al-Hikam,
al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir, Lataif al-Minan, al-Qasd al-Mujarrad fi Ma’rifat
al-Ism al-Mufrad dan Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah. Seluruh karyanya ini
mendominasi karya-karya al-Shadzili, sebab dialah Shekh pertama yang menorehkan
pena demi menuliskan ajaran-ajaran tarekat Shadziliyyah.
Murid Shadziliyyah lain yang
terkenal adalah Ibn Abbad al-Randa yang lahir di Randa Andalusia tahun 733 H/1333
M dan meninggal pada tanggal 17 Juni 1390 M.
B.
Penyebaran Ajaran
Tarekat Syadziliyah
Tarekat Shadziliyyah tersebar luas di seluruh dunia Islam. Hal ini
disebabkan karena ajaran tarekat tersebut sesuai dengan realita kehidupan.
Tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang
tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tanzania Tengah, Srilangka,
Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan
Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tarekat ini
mempunyai beberapa cabang, yaitu: al-Qasimiyyah, al-Madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah,
al-Handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah,
al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah, al-Hasyimiyyah.
Tarekat Shadziliyyah juga tersebar di Andalusia (Spanyol). Disana,
aliran tarekat ini dipimpin oleh Ibn Abbad al-Randa (w. 790 H). Ia penulis
sharh (penjelasan) atas kitab Al-Hikam Al-Ata’iyyah.[6]
Berdasarkan ajaran yang
diturunkan al-Shadzili kepada para muridnya,
kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu Tarekat
al-Shadziliyyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir,
Aljazair, Sudan, Suriah dan
Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Tarekat al-Shadhiliyyah
memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni Hafsiyyah
di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Timur (Mesir)
di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana
dicatat oleh Victor Danner peneliti tarekat al-Shadziliyyah adalah bahwa
meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal
perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah
Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya
sejak abad ke 7 H/13 M sangatlah jelas.
Daerah Maghribi telah
mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar biasa. Bahkan setelah penaklukan
kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada abad ke 9 H / 15 M yang mengakhiri
kejayaan Islam disana, Afrika Utara tetap menjadi benteng pertahanan
spiritualitas sufi, khususnya di daerah Timur (Mesir) sudah mulai mengalami
kemerosotan berkepanjangan. Semakin melemahnya kekaisaran Usmaniyah dan
Safawiyah juga sekaligus merupakan tanda kemunduran spiritualitas. Dalam hal
ini dapat dipahami bahwa pergerakan tarekat Shadziliyyah dari Maghribi ke Timur
merupakan sebuah upaya penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur,
khususnya di wilayah Arab. Ini berarti tarekat Shadziliyyah memainkan peranan penting di tengah
kemunduran umat Islam.
Di Maghribi (Maroko), al-Shadzili
sangat terkenal dan banyak sekali pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja
ada orang yang dengki atas kehebatan al-Shadzili. Bahkan ada pula yang berani melontarkan
bermacam-macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang
orang-orang untuk tidak bergaul dengannya. Bahkan beliau bersama
pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri Maghribi, karena itu Abu
al-Hasan pindah ke Mesir.
Pada tahun 624 H ia pindah
ke Mesir bersama para muridnya dan disinilah terbentuk institusi tarekat
bernama al-Shadziliyyah. Diantara muridnya yang ikut pindah dari Tunisia ke
Mesir ialah Shekh Abu Abbas al-Mursi (w. 686 H) dan Shekh Ibnu Ata’illah. Maka
kedua muridnya inilah yang kemudian mengembangkan tarekat al-Shadziliyyah.
Tarekat ini pada umumnya
tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexandria), tetapi
kemudian mempunyai pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh
terkenal daerah Maghribi pada abad ke 10 H/16 M, seperti Ali al-Sanhaji dan
muridnya Abd al-Rahman al-Majzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak
dulu tarekat ini juga telah diikuti olehsejumlah intelektual terkenal, misalnya
ulama’ terkenal abad ke 9 H /15 M yaitu Jalal al-Din al-Suyuti.
C.
Pokok-Pokok
Ajaran Sufistik Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah adalah salah
satu tarekat yang besar disamping Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsabandiyah
dan Suhrawardiyah. Ibn ‘Athailah mengemukakan bahwa al-Syadzili adalah orang
yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW. Allah telah
menegaskan peranan al-Syadzili melalui karamah-karamahnya yang selanjutnya akan
menunjukkan posisinya sebagai poros spiritual (quthb) alam semesta.
Namun demikian al-Syadzili tidak
menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis. Ajaran-ajarannya
dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan Ibn ‘Athaillah al-Iskandari.
Ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menulis ajaran-ajarannya,
maka ia menjawab, “Kutubi Ashlabi”, yang artinya “kitab-kitabbu adalah
sahabat-sahabatku”.
Adapun pokok-pokok ajaran sufistik
tarekat al-Syadziliyah tersebut adalah:
1.
Tidak menganjurkan kepada
murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya
mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yan
sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat ilahi.
2.
Tidak mengabaikan dalam menjalankan
syari’at Islam. Al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur
tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan
kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme, penelusuran dan
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq),
suatu tasawuf yang dinilai cukup moderat.
3.
Zuhud tidak berarti
harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati
dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yag melengahkan
dan memperbudak manusia.
4.
Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk
menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta
yang dimilikinya. Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan, namun jangan
sampai melalaikanNya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan
ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang.
Sejalan dengan itupula, seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak
berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Dan konon dengan
konsep ini, banyak kalangan usahawan-usahawan tertarik menjadi pengikut ajaran
al Syadzali.
5.
Berusaha merespons apa yang sedang
mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual
yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan
sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al syadzali menawarkan tasawuf
positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari langit, juga
harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini. Beraktivitas sosial demi
kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
6.
Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa
dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Tasawuf memiliki empat aspek penting, yakni berakhlak dengan akhlak Allahh SWT.
Senantiasa melakukan perintah-perintah- Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta
berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.
Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah
(gnosis), al Syadzali berpendapat bahwa ma’rifah adalah salaha satu tujuan ahli tarekat atau
tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama, adalah mawahib atau
‘ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya dengan tanpa
usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugrah
tersebut. Kedua, adalah makasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifah akan dapat
diperoleh melalui usaha keras, melalui al riyadhah, mulazamah al dzikr,
mulazamah al wudlu, puasa, shalat sunnah dan amal saleh lainnya.
Antara alGhazali dan al Syadzali di
samping memiliki beberapa persamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam
hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWt. Apabila al Ghazali lebih
menekankan pada riyadhah al abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik
yang mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar, dan
lain-lain. Maka al Syadzali lebih menekankan pada ritanpa menekankan adanya
musyaqqah al abdan, misalnya menekankan senang (al farh), rela (al ridha), dan
selalu bersyukur (al syukr) atas nikmat Allah.
Ajaran al Syadzali ini kemudian
diteruskan oleh muridnya Abu ‘Abbas al Mursi (w.686 H), kemudia diteruskan oleh
Ibn ‘Athaillah al Iskandari (w. 709 H), kemudian Ibn ‘Abbad al Ronda (w. 793
H), dan pada abad IX H/ XV dilanjutkan oleh Sayid Abi ‘Abd Allah Muhammad ibn
Sulaiman al Jazuli (w. 1465 M). Mereka ini dalam perkembangannya kemudian
dipandang sebagai pemimpin-pemimpin Tarekat syadzaliyah, sehingga sekarang
telah berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia, Mesir,m Aljazair,
Maroko, Sudan, Syiria, dan Indonesia khususnya di Pulau Jawa.[7]
Tarekat Shadziliyyah menekankan
ajarannya pada sifat-sifat batiniyyah mengenai jalan spiritual tareqat. Oleh
karena itu, para pengikutnya tidak mengenakan kain potongan yang seringkali
dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka tidak
melepaskan sama sekali kehidupan mereka sebagai pengembara, atau mengecam
kesenangan dan kemewahan hidup, atau membenci mengenakan pakaian yang bagus dan
indah. Sebab menurut Imam Shadzili, pelepasan diri dari urusan duniawi tidak
berarti menghindarkan diri dari keindahan dan tidak mengutuk badan. Jadi
penekanan yang dipentingkan oleh Imam Shadzili adalah ma’rifat, yakni ketajaman
dan penetrasi intelektual pada realitas (alam).
Ajaran tarekat Shadziliyyah banyak
dipengaruhi oleh pemikiran sufistik al-Ghazali. Sehingga Ibnu Ata’illah pernah
menyatakan bahwa al-Ghazali sangat diagungkan oleh Shekh Abu al-Hasan
al-Shadzili, bahkan menyerukan pada para muridnya agar mengikuti dan meneladani
pemikiran sufistik al-Ghazali. Sampai-sampai suatu saat al-Shadzili konon
menyerukan kepada para muridnya, jika mereka berhajat kepada Allah SWT tentang
suatu hal, maka sampaikanlah kepada Allah melalui perantaraan al-Ghazali.[8]
Tarekat Shadziliyyah merupakan aliran tarekat Sunni.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim
Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang
dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang
Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam
Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi
pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di
Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia
dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang,
kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan
para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang
panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal
tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui
pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat
memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir
tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
Ajaran hizib (doa dan dhikir)
tarekat Shadziliyyah antara lain adalah hizb al-ashfa’, hizb al-kafi atau al-autad,
hizb al-bahr, hizb al-baladiyah, hizb al-barr, hizb al-nasr, hizb al-mubarak,
hizb al-salamah, hizb al-nur dan hizb al-hujb. Hizib-hizib tersebut tidak boleh
diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapatkan izin atau ijazah dari
murshid. Atau seorang murid yang ditunjuk oleh murshid untuk mengijazahkannya.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor,
disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal
dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh
Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang
terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah
menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan
berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum
dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan
berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.
Hizb-hizb tersebut tidak boleh
diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapatkan izin atau ijazah dari
mursyid, atau seorang murid yang ditunjuk oleh mursyid untuk mengijazahkannya.
Contoh:
Hizb al-Asyfa’
Hizb al Asyfa’ adalah hizb yang
khas dari Tarekat Syadziliyah di Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti
prosesi baiat atau talqin zikir, biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb
asyfa’. Adapun cara mengamalkan adalah apabila disertai puasa maka hizb asyfa’
dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan selama tiga hari,
tujuh hari, sepuluh hari, atau empat puluh hari, sesuai dengan petunjuk
mursyid. Puasa dimulai pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Apabila tidak
disertai puasa, maka pembacaan hizb asyfa’ dilaksanakan cukup sekali dalam
sehari semalam.
Pertama-tama membaca surah al
Fatihah yang ditujukan kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, sayidina Abu Bakar
al Shidiq, Sayidina Umar ibn Khattab, Sayidina Ustman bin’Affan, Sayidina ‘Ali
bin Abi Thalib, Syaikh ‘Abd al Qadir al Jilani, Mbah Panjalu, Sunan Kalijaga,
Syaikh ibnu ‘Ulwan, Wali Sembilan di Indonesia, Sulthan Agung, Syaikh ‘Abd al
Qadir al Kediri, Syaikh Muqtasim bin Husain, Syaikh Abdul al Jalil bin Muqtasim,
kedua orang tua dan Nabi Hidhir. [9]
Hizib-hizib dalam Tareqat
Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk
memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah,
seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di
Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib,
bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia
lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah
A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan
menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa,
para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab),
dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan
personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka
mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru
pelatihan dari sang guru.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang
besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya,
dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya
termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula
penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu:
al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah,
al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah,
al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf
Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan
tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi
tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang
sangat dahsyat.
Di antara Ucapan Abul Hasan
asy-Syadzili:
1.
Pengelihatan akan yang Haqq telah
mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat
dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara
aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon
kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang
tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat
memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat,
segala puji bagi Tuhan!
2.
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam
ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang
dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman
dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat
taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah
keyakinanmu terhadap Allah."
3.
Seorang wali tidak akan sampai
kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.
4.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu
itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau
hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk
bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
5.
Seorang arif adalah orang yang
megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang
menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan
belas kasih Allah kepadanya.
6.
Sedikit amal dengan mengakui
karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
7.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya)
seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan
bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka
hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah
mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.
D.
Silsilah
Perguruan Tarekat Syadzaliyah
1.
Syaikh ‘Abd al Jalil bin Muqtasim
2.
Syaikh Mustaqim bin Husin
3.
Syaikh ‘Abd al Razzaq bin Abd Allah
al Tarmasi
4.
Syaikh Ahmad Ngadirejo, Solo
5.
Syaikh Ahmad Nahrawi, Makkah
6.
Syaikh Sayid Ali al Madani
7.
Syaikh ‘Allamah Ahmad Minnatullah
al Makki al Azhari
8.
Syaikh Muhammad al Bahit
9.
Syaikh Yusuf al Syaibani
10.
Syaikh al Ustadz al Iskandari al
Ma’ruf al Sabbagh
11.
Syaikh ‘Allamah Sayid Muhammad al
Zurqani
12.
Syaikh ‘Ali al Ajhuri
13.
Syaikh Nur al Qarafi
14.
Syaikh Hafidz al Qalqasyandi
15.
Syaikh ‘Allamah al Wusthi
16.
Syaikh ‘Allamah al Maiduni
17.
Syaikh Abu al ‘Abbas al Mursi
18.
Quthb al Muhaqqiqn al Auliya’
Syaikh Sayid Abu Hasan al Syadzali
19.
Syaikh Sayid ‘Abd al Salam al
Masyis
20.
Quthb al Syarif ‘Abd al Rahman al
Hasan
21.
Quthb al ‘Auliya’ Taqiy al Din al
Fuqair al Shufi
22.
Syaikh Fakhr al Din
23.
Syaikh Quthb Nur al Din ‘Alt
24.
Syaikh Quthb Taj al Din Muhammad
25.
Syaikh Quthb Zain al Din Qazwini
26.
Syaikh Qutb Ibrahim al Bashri
27.
Syaikh Quthb Ahmad al Marwani
28.
Syaikh Sa’id
29.
Syaikh Quthb Abu Muhammad Fath al
Sa’udi
30.
Syaikh Quthb Sa’id al Ghazwani
31.
Syaikh Quthb Abu Muhammad Jabir
32.
Awwal al Aqthab Sayid al Syarif
alHasan bin Ali
33.
Sayidina ‘Ali bin Abi Thalib
34.
Sayidina wa Habibina wa Syafi’
Muhammad SAW
35.
Sayidina Jibril a.s
36.
Allah Rabb al-‘Alamin[10]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat Shadziliyyah dalam perkembangannya dimulai dari Mesir
sampai ke Andalusia (Spanyol). Bahkan karena kesederhanaan ajarannya, tarekat
Shadziliyyah juga banyak diterima dan berkembang luas.
Termasuk akhir-akhir ini juga tidak sedikit diikuti oleh umat Islam (sebagian)
di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh ajarannya yaitu Abu Hasan al-Shadzili, Abu
al-Abbas al-Mursi, Shekh Ibn Ata’illah dan Ibn Abbad al-Randa. Mereka adalah
tokoh terkemuka dalam tarekat Shadziliyyah.
Selanjutnya ajaran tarekat Shadziliyyah juga sederhana dan sesuai dengan
realita kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan ajaran tersebut dapat
diterima dan banyak pengikutnya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang saya susun. Saya berusaha
untuk membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya tetapi saya juga menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan karena pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstrutif sangat saya harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita,
amin.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Barsany, Noer Iskandar, Tasawuf, Tarekat
dan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001
al-Hafni, Abd al-Mun’im, Ensiklopedia,
Mesir : Maktabah Madbuli, 1999,cet. II.
Burhani, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat,Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam (Ringkas),
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.
Mu’tasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis
Kaum Sufi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta Timur : Prenada Media,
2004.
[2]Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis
Kaum Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm. 3-4.
[3]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Hlm. 57-58.
[5]Sri Mulyati, Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta Timur : Prenada Media,
2004), Hlm. 67.
[7] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Hlm. 73-75..
[8]Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf, Tarekat
dan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), Hlm. 89.
[10] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.
678-79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar