Minggu, 06 Juli 2014

makalah tasawuf

TAREKAT SYADZILIYAH

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Komarudin, M. Ag.

 


Disusun Oleh:

Ummi Hanik               (121111104)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.               PENDAHULUAN
Secara definisi, tarekat itu merupakan metode psikologi untuk mendekati Tuhan dengan menggunakan perantara seorang imam atau biasa disebut dengan mursyid al-thariqah.
Menurut AJ Arberry, organisasi tarekat ini mulai muncul pada abad ke-6 H/12 M. Tarekat-tarekat yang berkembang mulai saat itu dan hidup dengan subur hingga kini diantaranya adalah Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Suhrawardiyah, Syadziliyah, Rifaiyah, Maulawiyah, dst.[1]
 Hampir seluruh tarekat memiliki pranata dalam bentuk ajaran seperti baiat, tawajuhan, khalwat, dan dzikir. Pranata dan ajaran terekat itu kemudian membentuk suatu orde keagamaan yang membentuk struktur kehidupan komunitas penganut tarekat yang ketat, kuat dan tertutup. Dalam kelompok yang dilandasi satu ajaran agama, keyakinan keagamaan anggota-anggota kelompok itu menjadi amat kuat dan mantap.[2]
Berikut ini akan penulis uraikan pokok-pokok ajaran tarekat Syadziliyah, agar pembaca dapat mengetahui amalan-amalan apa saja yang di lakukan penganut tarekat Syadziliyah.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.      Bagaimana sejarah lahirnya tarekat Syadziliyah?
B.       Bagaimana penyebaran ajaran tarekat Syadziliyah?
C.      Apa saja pokok-pokok ajaran sufistik yang terdapat dalam tarekat Syadziliyah?
D.      Bagaimana silsilah perguruan Tarekat Syadzaliyah?




III.         PEMBAHASAN
A.      Sejarah Lahirnya Tarekat Syadziliyah
Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abd. Al-Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan dengan demikian berarti juga keturunan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad SAW. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd. Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa bin Muhammad bin Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Dia dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H, pada saat dinasti al-Muwahhidun mencapai titik nadinya.
Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan ke pendidikan yang lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar ‘Abd. al-Salam Ibn Msyisy (w. 628 H/1228 M), yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para Wali”, seperti halnya Syaikh ‘Abd. al-Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M).[3]
Ketika masuk ke Irak, pertama kali  beliau bergaul dengan Abu al-Fath. Setelah itu ke Maroko bertemu dengan Abd al-Salam ibn Mashish, gurunya, tepatnya di kota Fez, yang hidup secara mengasingkan diri di atas Jabal Alam.[4]
Sepeninggal al-Shadzili, kepemimpinan tarekat ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh al-Shadzili. Ia lahir di Murcia, Spanyol pada 616 H/1219 M dan meninggal pada 686 H/1287 M di Alexandria. Di kota kelahirannya, juga lahir sufi dan ulama’ terkenal Ibn al-Arabi dan Ibn Sab’in yang terakhir ini dilahirkan hanya beberapa tahun sebelum al-Mursi. Setelah dewasa, al-Mursi dan kakaknya beserta kedua orangtuanya berangkat menunaikan ibadah haji. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpanginya tenggelam di Teluk Aljazair. Dalam malapetaka itu kedua orangtuanya meninggal, namun ia dan saudaranya berhasil menyelamatkan diri.[5]
Diantara murid al-Mursi adalah al-Bushiri (w. 694 H / 1295 M), penyair Mesir yang berasal dari Berber yang amat terkenal dengan dua shairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad, yakni al-Burdah (Shair Jubah) dan Hamziyyah yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi. Murid yang lain adalah Shekh Najm al-Din al-Isfahani (w. 721 H /1321 M), beliau berkebangsaan Persia yang lama menetap di Makkah dan menyebarkan ajaran Shadziliyyah kepada para jamaah haji. Beliau juga merupakan guru Shadziliyyah bagi al-Yafi’i (w. 768 H/1367 M). Melalui al-Yafi’i tarekat Ni’matullahi yang beraliran Syi’ah mengadakan hubungan dengan Shadhiliyyah. Termasuk murid al-Mursi adalah Shekh Ibn Ata’illah (w. 709 H/1309 M). Beliau merupakan guru ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah tarekat Shadziliyyah.
Shekh Ibn Ata’illah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan oleh sang guru, yaitu Shekh Abu al-Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku yaitu al-Hikam, al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir, Lataif al-Minan, al-Qasd al-Mujarrad fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrad dan Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah. Seluruh karyanya ini mendominasi karya-karya al-Shadzili, sebab dialah Shekh pertama yang menorehkan pena demi menuliskan ajaran-ajaran tarekat Shadziliyyah.
Murid Shadziliyyah lain yang terkenal adalah Ibn Abbad al-Randa yang lahir di Randa Andalusia tahun 733 H/1333 M dan meninggal pada tanggal 17 Juni 1390 M.


B.       Penyebaran Ajaran Tarekat Syadziliyah
Tarekat Shadziliyyah tersebar luas di seluruh dunia Islam. Hal ini disebabkan karena ajaran tarekat tersebut sesuai dengan realita kehidupan.
Tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, Tanzania Tengah, Srilangka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tarekat ini mempunyai beberapa cabang, yaitu: al-Qasimiyyah, al-Madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-Handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah, al-Hasyimiyyah.
Tarekat Shadziliyyah juga tersebar di Andalusia (Spanyol). Disana, aliran tarekat ini dipimpin oleh Ibn Abbad al-Randa (w. 790 H). Ia penulis sharh (penjelasan) atas kitab Al-Hikam Al-Ata’iyyah.[6]
Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Shadzili kepada para muridnya,  kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbahkan kepadanya, yaitu Tarekat al-Shadziliyyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia (khususnya) di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tarekat al-Shadhiliyyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-Muwahhidun, yakni Hafsiyyah di Tunisia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di Timur (Mesir) di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner peneliti tarekat al-Shadziliyyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia). Dengan demikian, peran daerah Maghribi dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya sejak abad ke 7 H/13 M sangatlah jelas.
Daerah Maghribi telah mengembangkan suatu peradaban Islam yang luar biasa. Bahkan setelah penaklukan kembali Spanyol oleh pasukan Kristen pada abad ke 9 H / 15 M yang mengakhiri kejayaan Islam disana, Afrika Utara tetap menjadi benteng pertahanan spiritualitas sufi, khususnya di daerah Timur (Mesir) sudah mulai mengalami kemerosotan berkepanjangan. Semakin melemahnya kekaisaran Usmaniyah dan Safawiyah juga sekaligus merupakan tanda kemunduran spiritualitas. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa pergerakan tarekat Shadziliyyah dari Maghribi ke Timur merupakan sebuah upaya penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berarti tarekat Shadziliyyah memainkan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam.
Di Maghribi (Maroko), al-Shadzili sangat terkenal dan banyak sekali pengikutnya. Meskipun demikian, tetap saja ada orang yang dengki atas kehebatan al-Shadzili. Bahkan ada pula yang berani melontarkan bermacam-macam fitnah kepadanya yang melewati batas, menyakiti beliau, melarang orang-orang untuk tidak bergaul dengannya. Bahkan beliau bersama pengikut-pengikutnya diusir keluar dari negeri Maghribi, karena itu Abu al-Hasan pindah ke Mesir.
Pada tahun 624 H ia pindah ke Mesir bersama para muridnya dan disinilah terbentuk institusi tarekat bernama al-Shadziliyyah. Diantara muridnya yang ikut pindah dari Tunisia ke Mesir ialah Shekh Abu Abbas al-Mursi (w. 686 H) dan Shekh Ibnu Ata’illah. Maka kedua muridnya inilah yang kemudian mengembangkan tarekat al-Shadziliyyah.
Tarekat ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexandria), tetapi kemudian mempunyai pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke 10 H/16 M, seperti Ali al-Sanhaji dan muridnya Abd al-Rahman al-Majzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dulu tarekat ini juga telah diikuti olehsejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama’ terkenal abad ke 9 H /15 M yaitu Jalal al-Din al-Suyuti.

C.      Pokok-Pokok Ajaran Sufistik Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah adalah salah satu tarekat yang besar disamping Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqsabandiyah dan Suhrawardiyah. Ibn ‘Athailah mengemukakan bahwa al-Syadzili adalah orang yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW. Allah telah menegaskan peranan al-Syadzili melalui karamah-karamahnya yang selanjutnya akan menunjukkan posisinya sebagai poros spiritual (quthb) alam semesta.
Namun demikian al-Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis. Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan Ibn ‘Athaillah al-Iskandari. Ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menulis ajaran-ajarannya, maka ia menjawab, “Kutubi Ashlabi”, yang artinya “kitab-kitabbu adalah sahabat-sahabatku”.
Adapun pokok-pokok ajaran sufistik tarekat al-Syadziliyah tersebut adalah:
1.         Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yan sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat ilahi.
2.         Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at Islam. Al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme, penelusuran dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq), suatu tasawuf yang dinilai cukup moderat.
3.         Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yag melengahkan dan memperbudak manusia.
4.          Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikanNya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itupula, seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Dan konon dengan konsep ini, banyak kalangan usahawan-usahawan tertarik menjadi pengikut ajaran al Syadzali.
5.         Berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al syadzali menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping berupaya mencari langit, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di bumi ini. Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
6.         Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Tasawuf memiliki empat aspek penting, yakni berakhlak dengan akhlak Allahh SWT. Senantiasa melakukan perintah-perintah- Nya, dapat menguasai hawa nafsu serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
7.         Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), al Syadzali berpendapat bahwa ma’rifah  adalah salaha satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama, adalah mawahib atau ‘ain al-jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugrah tersebut. Kedua, adalah makasib atau badzi al-majhud yaitu ma’rifah akan dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui al riyadhah, mulazamah al dzikr, mulazamah al wudlu, puasa, shalat sunnah dan amal saleh lainnya.
Antara alGhazali dan al Syadzali di samping memiliki beberapa persamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWt. Apabila al Ghazali lebih menekankan pada riyadhah al abdan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya musyaqqah, misalnya bangun malam, lapar, dan lain-lain. Maka al Syadzali lebih menekankan pada ritanpa menekankan adanya musyaqqah al abdan, misalnya menekankan senang (al farh), rela (al ridha), dan selalu bersyukur (al syukr) atas nikmat Allah.
Ajaran al Syadzali ini kemudian diteruskan oleh muridnya Abu ‘Abbas al Mursi (w.686 H), kemudia diteruskan oleh Ibn ‘Athaillah al Iskandari (w. 709 H), kemudian Ibn ‘Abbad al Ronda (w. 793 H), dan pada abad IX H/ XV dilanjutkan oleh Sayid Abi ‘Abd Allah Muhammad ibn Sulaiman al Jazuli (w. 1465 M). Mereka ini dalam perkembangannya kemudian dipandang sebagai pemimpin-pemimpin Tarekat syadzaliyah, sehingga sekarang telah berkembang pesat di beberapa wilayah seperti Tunisia, Mesir,m Aljazair, Maroko, Sudan, Syiria, dan Indonesia khususnya di Pulau Jawa.[7]
Tarekat Shadziliyyah menekankan ajarannya pada sifat-sifat batiniyyah mengenai jalan spiritual tareqat. Oleh karena itu, para pengikutnya tidak mengenakan kain potongan yang seringkali dikenakan sebagai simbol lahiriah oleh kalangan sufi pada umumnya. Mereka tidak melepaskan sama sekali kehidupan mereka sebagai pengembara, atau mengecam kesenangan dan kemewahan hidup, atau membenci mengenakan pakaian yang bagus dan indah. Sebab menurut Imam Shadzili, pelepasan diri dari urusan duniawi tidak berarti menghindarkan diri dari keindahan dan tidak mengutuk badan. Jadi penekanan yang dipentingkan oleh Imam Shadzili adalah ma’rifat, yakni ketajaman dan penetrasi intelektual pada realitas (alam).
Ajaran tarekat Shadziliyyah banyak dipengaruhi oleh pemikiran sufistik al-Ghazali. Sehingga Ibnu Ata’illah pernah menyatakan bahwa al-Ghazali sangat diagungkan oleh Shekh Abu al-Hasan al-Shadzili, bahkan menyerukan pada para muridnya agar mengikuti dan meneladani pemikiran sufistik al-Ghazali. Sampai-sampai suatu saat al-Shadzili konon menyerukan kepada para muridnya, jika mereka berhajat kepada Allah SWT tentang suatu hal, maka sampaikanlah kepada Allah melalui perantaraan al-Ghazali.[8] Tarekat Shadziliyyah merupakan aliran tarekat Sunni.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.
Ajaran hizib (doa dan dhikir) tarekat Shadziliyyah antara lain adalah hizb al-ashfa’, hizb al-kafi atau al-autad, hizb al-bahr, hizb al-baladiyah, hizb al-barr, hizb al-nasr, hizb al-mubarak, hizb al-salamah, hizb al-nur dan hizb al-hujb. Hizib-hizib tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapatkan izin atau ijazah dari murshid. Atau seorang murid yang ditunjuk oleh murshid untuk mengijazahkannya.
Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat "dibeli" dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.
Hizb-hizb tersebut tidak boleh diamalkan oleh semua orang, kecuali telah mendapatkan izin atau ijazah dari mursyid, atau seorang murid yang ditunjuk oleh mursyid untuk mengijazahkannya.
Contoh:
Hizb al-Asyfa’
Hizb al Asyfa’ adalah hizb yang khas dari Tarekat Syadziliyah di Tulungagung. Sebelum seseorang mengikuti prosesi baiat atau talqin zikir, biasanya ia dianjurkan untuk membaca hizb asyfa’. Adapun cara mengamalkan adalah apabila disertai puasa maka hizb asyfa’ dibaca setiap selesai shalat fardhu dan puasa dilaksanakan selama tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari, atau empat puluh hari, sesuai dengan petunjuk mursyid. Puasa dimulai pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Apabila tidak disertai puasa, maka pembacaan hizb asyfa’ dilaksanakan cukup sekali dalam sehari semalam.
Pertama-tama membaca surah al Fatihah yang ditujukan kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, sayidina Abu Bakar al Shidiq, Sayidina Umar ibn Khattab, Sayidina Ustman bin’Affan, Sayidina ‘Ali bin Abi Thalib, Syaikh ‘Abd al Qadir al Jilani, Mbah Panjalu, Sunan Kalijaga, Syaikh ibnu ‘Ulwan, Wali Sembilan di Indonesia, Sulthan Agung, Syaikh ‘Abd al Qadir al Kediri, Syaikh Muqtasim bin Husain, Syaikh Abdul al Jalil bin Muqtasim, kedua orang tua dan Nabi Hidhir. [9]
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.
Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.
Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
1.    Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!
2.    Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkn keridhoan Allah, dan jangan duduk dimajelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."
3.    Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.
4.    Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.
5.    Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya didalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya.
6.    Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
7.    Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.

D.      Silsilah Perguruan Tarekat Syadzaliyah
1.      Syaikh ‘Abd al Jalil bin Muqtasim
2.      Syaikh Mustaqim bin Husin
3.      Syaikh ‘Abd al Razzaq bin Abd Allah al Tarmasi
4.      Syaikh Ahmad Ngadirejo, Solo
5.      Syaikh Ahmad Nahrawi, Makkah
6.      Syaikh Sayid Ali al Madani
7.      Syaikh ‘Allamah Ahmad Minnatullah al Makki al Azhari
8.      Syaikh Muhammad al Bahit
9.      Syaikh Yusuf al Syaibani
10.  Syaikh al Ustadz al Iskandari al Ma’ruf al Sabbagh
11.  Syaikh ‘Allamah Sayid Muhammad al Zurqani
12.  Syaikh ‘Ali al Ajhuri
13.  Syaikh Nur al Qarafi
14.  Syaikh Hafidz al Qalqasyandi
15.  Syaikh ‘Allamah al Wusthi
16.  Syaikh ‘Allamah al Maiduni
17.  Syaikh Abu al ‘Abbas al Mursi
18.  Quthb al Muhaqqiqn al Auliya’ Syaikh Sayid Abu Hasan al Syadzali
19.  Syaikh Sayid ‘Abd al Salam al Masyis
20.  Quthb al Syarif ‘Abd al Rahman al Hasan
21.  Quthb al ‘Auliya’ Taqiy al Din al Fuqair al Shufi
22.  Syaikh Fakhr al Din
23.  Syaikh Quthb Nur al Din ‘Alt
24.  Syaikh Quthb Taj al Din Muhammad
25.  Syaikh Quthb Zain al Din Qazwini
26.  Syaikh Qutb Ibrahim al Bashri
27.  Syaikh Quthb Ahmad al Marwani
28.  Syaikh Sa’id
29.  Syaikh Quthb Abu Muhammad Fath al Sa’udi
30.  Syaikh Quthb Sa’id al Ghazwani
31.  Syaikh Quthb Abu Muhammad Jabir
32.  Awwal al Aqthab Sayid al Syarif alHasan bin Ali
33.  Sayidina ‘Ali bin Abi Thalib
34.  Sayidina wa Habibina wa Syafi’ Muhammad SAW
35.  Sayidina Jibril a.s
36.  Allah Rabb al-‘Alamin[10]

IV.         KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat Shadziliyyah dalam perkembangannya dimulai dari Mesir sampai ke Andalusia (Spanyol). Bahkan karena kesederhanaan ajarannya, tarekat Shadziliyyah juga banyak diterima dan berkembang luas. Termasuk akhir-akhir ini juga tidak sedikit diikuti oleh umat Islam (sebagian) di Indonesia. Adapun tokoh-tokoh ajarannya yaitu Abu Hasan al-Shadzili, Abu al-Abbas al-Mursi, Shekh Ibn Ata’illah dan Ibn Abbad al-Randa. Mereka adalah tokoh terkemuka dalam tarekat Shadziliyyah.
Selanjutnya ajaran tarekat Shadziliyyah juga sederhana dan sesuai dengan realita kehidupan, sehingga tidak menutup kemungkinan ajaran tersebut dapat diterima dan banyak pengikutnya.


V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang saya susun. Saya berusaha untuk membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya tetapi saya juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah  ini masih banyak kekurangan karena pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstrutif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, amin.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Barsany, Noer Iskandar, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo    Persada, 2001
al-Hafni, Abd al-Mun’im, Ensiklopedia, Mesir : Maktabah Madbuli, 1999,cet. II.
Burhani, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat,Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002.
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.
Mu’tasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta Timur : Prenada Media, 2004.




[1]Ahmad Najib Burhani, Tarekat Tanpa Tarekat, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002), Hlm. 98
[2]Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm. 3-4.
[3]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Hlm. 57-58.
[4]Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), Hlm.378.
[5]Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta Timur : Prenada Media, 2004), Hlm. 67.
[6] Abd al-Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia, (Mesir : Maktabah Madbuli, 1999),cet. II, Hlm. 54.
[7] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Hlm. 73-75..
[8]Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo    Persada, 2001), Hlm. 89.
[9] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, hlm. 82.
[10] Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 678-79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar