Minggu, 06 Juli 2014

makalah filsafat

BERFIKIR KRITIS-FILOSOFIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen Pengampu : Komarudin, M.Ag


Disusun Oleh:

Siti Mutmainah           (121111090)
Ummi Hanik               (121111104)
Ainur Rofiq                 (121111107)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
     I.         PENDAHULUAN
Filsafat sebagai suatu cabang dari ilmu pengetahuan diyakini merupakan suatu disiplin ilmu yang cukup sulit dan terkadang dianggap hantu bagi kalangan pelajar. Kadang cabang ilmu ini menjadi sebuah cemoohan yang dihujat dan dilaknat sebagian umat muslim yang tulen dan shalih dalam mendalami, mengkaji dan mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam karena dianggap berbahaya dan bisa membawa orang yang berkecimpung didalamnya menjadi seorang kafir. Filsafat sering difitnah sebagai sekuleristik, ateis, dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dibalik pakaian seorang alim.[1]
Banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, bahwa salah satu spesifikasi sifat yang dimiliki manusia sebagai pembeda dirinya dengan makhluk lainnya adalah anugerah akal yang membawa konsekwensi positif konstruktif untuk menggiring manusia serba penasaran dan ingin tahu, baik terhadap dirinya maupun terhadap alam lingkungan sekitarnya. Kenyataan ini sungguh patut dibanggakan, karena dengan potensi akal tadi manusia senantiasa berpikir untuk keperluan survivalitas kehidupannya bahkan menurut uraian Al-Qur’an berikutnya, dengan kesungguhan berpikir tadi manusia akan dapat melewati derajat malaikat.
Berpikir kritis banyak memiliki sinonim, sebagaimana Salam, (1988: 13), mengatakan bahwa berpikir kritis berarti pula berpikir kreatif, yaitu suatu proses berpikir melalui akal budi yang bersifat intuitif untuk menciptakan suatu kemampuan, memperkirakan dan membuat kesimpulan baru, asli, cerdik dan mengagumkan. Di samping itu berpikir kritis reflektif sebenarnya menjadi sarana awal untuk masuk pada berpikir filosofis. Manusia yang dikarunia akal oleh Tuhan semestinya menggunakannya untuk senantiasa berpikir kritis dalam memahami alam sekitar. Ini seperti yang dianjurkan Tuhan agar manusia bertadabbur dan bertafakur tentang fenomena alam. [2]

  II.         RUMUSAN MASALAH
A.      Apa pengertian berfikir kritis?
B.       Apa dasar-dasar berfikir kritis-filosofis dalam perspektif Islam?
C.       Siapa sajakah tokoh-tokoh filsuf Islam?

III.         PEMBAHASAN
A.      Pengertian Berfikir Kritis
Berfikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berfikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara terorganisasi, kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dari pendapat orang lain.
Berfikir kritis juga didefinisikan sebagai aktivitas mental sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang toleran dengan pikiran terbuka untuk memperluas pemahaman mereka. Seseorang yang berpikir kritis akan berpikir secara teliti tentang apa yang dipikirkan dan orang lain pikirkan untuk memperoleh pemahaman secara lengkap. Mereka akan berpikir secara berurutan dan objektif.
Dalam melaksanakan berpikir kritis, terlibat disposisi berpikir yang dicirikan dengan: bertanya secara jelas dan beralasan, berusaha memahami dengan baik, menggunakan sumber yang terpercaya, mempertimbangkan situasi secara keseluruhan, berusaha tetap mengacu dan relevan ke masalah pokok, mencari berbagai alternatif, bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak cepat, bersikap atau berpandangan bahwa sesuatu adalah bagian dari keseluruhan yang kompleks, memanfaatkan cara berpikir orang lain yang kritis, dan bersikap sensisif terhadap perasaan orang lain.[3]
Al-qur’an mendorong kita untuk berpikir. Pada Al-qur’anul Karim terdapat lebih dari 640 ayat yang mendorong manusia untuk berpikir. Oleh karena itu kita, diperintahkan oleh Syari’at untuk menggunakan akal pikiran kita. Allah telah mengistimewakan manusia dibandingkan dengan makhluk lainya dengan adanya akal dan kecerdasan yang tinggi.
Agama mendifinisikan beberapa karakteristik berpikir yang sehat, agar seseorang tidak terjatuh dalam kesalahan dan dapat menyingkirkan rintangan-rintangan yang melintang. Di antara karakter tersebuat adalah sebagai berikut:
1.    Meliputi dunia dan akhirat, karena berpikir adalah manhaj kehidupan untuk mencapai tujuan
2.    Menyempurnakan apa saja yang ada di antara dua alam, yakni alam gaib dan alam nyata, karena lapangan kerja akal adalah alam nyata, sedangkan bidang kerja batin adalah alam gaib.
3.    Senantiasa melihat kepada hal-hal yang masuk akal, baik berupa asosiasi, produksi, analisis, dan penyesuaian dengan realitas, untuk menghantarkan pengenalan kepada Allah SWT.
4.    Mengaplikasikan manhaj yang digunakan dengan detail dan setimbang, terutama antara ruh dengan jasad, antara agama dengan Negara, antara agama dengan ilmu, dan dalam segala bidang kehidupan.
5.    Melakkan perubahan dan pembaruan, sesuai dengan waktu, tempat, perkembangan zaman, dan persaingan.
6.    Berpegangan pada nilai akhlak yang digariskan syari’at, untuk mewujudkan kemaslahatan di dalam agama dan kehidupan.[4]
Dalam islam, langkah-langkah berpikir terlihat jelas tertulis dalam Al Quran yaitu antara lain:
a.    Q. S Al-An'am (6) ayat 74-79, yang berbunyi:
 øŒÎ)ur tA$s% ÞOŠÏdºtö/Î) ÏmŠÎ/L{ uy#uä äÏ­Gs?r& $·B$uZô¹r& ºpygÏ9#uä ( þÎoTÎ) y71ur& y7tBöqs%ur Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇÐÍÈ   šÏ9ºxx.ur ü̍çR zOŠÏdºtö/Î) |Nqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur tbqä3uÏ9ur z`ÏB tûüÏYÏ%qßJø9$# ÇÐÎÈ   $£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% Iw =Ïmé& šúüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ   $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u žúsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$žÒ9$# ÇÐÐÈ   $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çŽt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»tƒ ÎoTÎ) Öäü̍t/ $£JÏiB tbqä.ÎŽô³è@ ÇÐÑÈ   ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÐÒÈ  
Artinya: 74. “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." 75. “Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.” 76. “Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." 77. “Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." 78. “Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” 79. “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.”


b.    Q.S Ash-Saffat (37) ayat 95, yang berbunyi:
tA$s% tbrßç7÷ès?r& $tB tbqçGÅs÷Ys? ÇÒÎÈ
Artinya: “Dia (Ibrahim) berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?”
c.    Q.S Al-Anbiya (21) ayat 66-67, yang berbunyi:
tA$s% šcrßç7÷ètGsùr& `ÏB Âcrߊ «!$# $tB Ÿw öNà6ãèxÿZtƒ $\«øx© Ÿwur öNä.ŽÛØtƒ ÇÏÏÈ   7e$é& ö/ä3©9 $yJÏ9ur šcrßç7÷ès? `ÏB Èbrߊ «!$# ( Ÿxsùr& šcqè=É)÷ès? ÇÏÐÈ
Artinya: 66. "Dia (Ibrahim) berkata, "Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? 67. Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?"[5]

B.       Dasar-dasar Berfikir Kritis-filosofis dalam Perspektif Islam
Pada dasarnya tidak ada larangan didalam islam tentang mempelajari ilmu filsafat. Bahkan islam sangat menganjurkan agar manusia berfilsafat. Hal ini tertuang didalam Al Qur'an surat Al Ankabut ayat 20 :
ö@è% (#r玍ŠÎû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#øŸ2 r&yt/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yムnor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÉÈ
Artinya : “Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S. Al-Ankabut: 20)
Ayat ini memberikan sebuah inspirasi dan motivator kepada umat islam agar melakukan proses penelitian analisis yang mendalam terhadap apa yang ada di bumi. Kata أنظروا كيف بدأالخلق  memberikan sebuah pemahaman bahwa proses penciptaan Allah terhadap makhluk adalah sebuah proses yang perlu mendapat perhatian yang serius, analisis yang mendalam dan juga penelitian yang detail. Penelitian, analisis ini merupakan sebuah bagian dari kerja filsafat. Hal ini dikarenakan filsafat secara hakiki adalah ilmu kritis.[6]
Filsuf Cordova (Ibnu Rusyd) berpendapat bahwa mempelajari filsafat adalah perintah yang diwajibkan oleh agama dan ditetapkan oleh syari’at. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa yang di maksud dengan filsafat adalah mempelajari segala wujud yang tampak (al maujudat) lalu mengambil pelajaran (i’tibar) darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Pencipta dari kapasitasnya sebagai ciptaan, dimana segala wujud yang tampak itu pada dasarnya menunjukkan adanya Sang Pencipta dengan jalan mengetahui ciptaanNya.
Kemudian ia menegaskan bahwa jika yang dimaksud filsafat adalah seperti pengertian diatas dan bahwa filsafat adalah tak lebih dari mengambil pelajaran (i’tibar) dari segala wujud yang tampak, maka tak diragukan lagi bahwa hal itu tentu merupakan suatu kewajiban atau sekurang-kurangnya merupakan anjuran dari syari’at. Sebab  syari’at telah mendorong untuk mempelajari seluruh eksistensi (al kainat), menyeru untuk merenungkannya secara rasional dan mencari pengetahuan tentangnya. Hal ini demikian jelas dalam banyak ayat yang termuat dalam Al Qur’an seperti firman Allah Ta’ala:
“Maka berpikirlah hai orang-orang yang berakal budi” (al Hasyr:2)
Teks (nash) ini menunjukkan keharusan memakai kias aqli (analogi rasional) dengan kias syar’i (analogi hukum fiqih), seperti disebutkan firman Allah lainnya:
“Apakah mereka tidak mempelajari apa yang terdapat di segala kerajaan (langit dan bumi) dan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah”, (Al A’raf: 185). Ini adalah nash yang menganjurkan untuk meneliti (menalar) semua wujud.[7]

C.      Tokoh-tokoh Filsuf Islam
Filsuf Islam adalah orang yang mengambil inspirasinya dari Al Qur’an dan sunnah, dan pandangan-pandangan filsafatnya sesuai sepenuhnya dengan pandangan-pandangan yang diuraikan di dalamnya.[8]
1.    Filsuf Muslim di Dunia Islam Belahan Timur:
a)    Al- Kindi
Al- Kindi (801-873 M), di dunia Barat terkenal dengan nama alkindus. Beliau adalah seorang tabib, ahli bintang dan filosof. Al- Kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dan penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Banyak buku yang telah dia karang, yang kurang lebih berjumlah 241 buah dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan madzhab.
Al- Kindi meninjau filsafat dari dalam dan luar. Dengan  tinjauan dari dalam, ia bermaksud mengikuti pendapat filosof- filosof besar tentang arti kata-kata “filsafat”, dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat, ia menyebutkan enam definisi yang kebanyakanya bercorak platonisme,. Dengan tinjauan dari luar, ia bermaksud memberikan sendiri definisi filsafat.
b)   Al-Farabi
Abu Nasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M). Beliau sejak kecil suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Al-Farabi juga seorang tabib  yang kenamaan, seorang ahli ilmu dan seorang filsuf ulung. Beliau mlebihi Al-Kindi baik memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab Yunani.
Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filasafat Aristoteles dan Neo-Platonisme dengan pemikiran islam yang jelas dan corak aliran Syi’ah Imamiah.[9]
c)    Ibnu Sina (370 H – 428 H/980 M – 1036 M)
Sebagai murid Al-Farabi sudah sewajarnya bila terpengaruh oleh gurunya dalam langkah-langkah memadukan antara filsafat dan agama. Bahkan menurut Ibrahim Madzkur keterpengaruhannya tidak tanggung-tanggung. Pemaduan tersebut dengan cara menafsirkan aqidah-aqidah keagamaan  dengan tafsiran yang sesuai dengan akal serta membagi manusia kepada tingkatan-tingkatan tertentu yang masing-masing mempunyai caranya sendiri-sendiri dalam memahami, mempercayai dan membuktikan kebenaran.
d)   Ibn Maskawaih (330 H – 421 H)
Ibn Maskawih memang lebih tekenal dengan filsafat praktisnya yakni akhlaq dari pada filsafat teoritis metafisikanya. Namun demikian adalah sayang untuk begitu saja meninggalkan pandangannya untuk menunjukkan usaha memadukan filsafat dan agama.[10]
2.    Para Filsuf Muslim di Dunia Islam Belahan Barat (Eropa):
a)    Ibnu Thufail
Ibnu Thufail, Abu Bakar Muhammad Bin Abdul Malik adalah filsuf Andalusia yang dilahirkan di salah satu kota dekat Granada. Pada permulaan abad VI, ada yang mengatakan tahun 504 H. Ia mempelajari berbagai ilmu yang menjadi trend zaman itu dan mengkaji filsafat dengan berbagai cabangnya. Ilmu kedokteran, filsafat dan ilmu-ilmu yang lain dapat ia kuasai degan baik.
Ibnu Thufail adalah termasuk pengagum filsafat yang representatif, meskipun kitab-kitabnya yang sampai kepada kita hanyalah risalah atau kisah Hay Bin Yaqdzan (Living Son of The Awake).[11]
b)   Ibnu Rusyd
Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (Averous) lahir tahun 520 H di Cordova yang ketika itu merupakan kota paling menonjol dan terkenal di Andalusia karena kondisi keilmuannya. Ibnu Rusyd tumbuh di tengah-tengah keluarga yang terhormat dan memiliki tradisi keilmuan yang baik. Ia memiliki kecerdasan, kesiapan yang baik dan modal mental yang cukup. Ibnu Rusyd unggul dan mempunyai kemampuan penuh baik dalam bidang fiqih, ilmu kalam, maupun ilmu kedokteran, dan filsafat. Untuk disiplin keilmuan ini Ibnu Rusyid secara serius menulis karya-karya terutama dalam bidang filsafat dan teologi. Karya-karya Ibnu Rusyd yang hingga kini masih ada antara lain: Tahafut at Tahatut (karya ini adalah sebagai jawaban terhadap Tahafut al Falasifah milik al-Ghazali), Fashl al-Maqal, dan al Kasyf an Manahij al-Adillah. Disamping karya-karya yang berupa komentar-komentar karya Aristoteles, hingga akhirnya ia dijuluki sang komentator agung.[12]


IV.         KESIMPULAN


  V.         PENUTUP
Demikianlah makalah kami susun. Kami berusaha untuk membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya tetapi kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan makalah  ini masih banyak kekurangan karena pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstrutif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, amin.





[7] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama &Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 87-89.
[8] Hasan Basari, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (terj. C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989). Hlm. 75.
[9] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997). Hlm. 21-32.
[10] Yusuf Suyono, Bersama Ibn Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi, (Semarang: Walisongo Press, 2008). Hlm. 50-51.
[11] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama &Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 39-40.
[12] Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama &Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 65-66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar