BERFIKIR
KRITIS-FILOSOFIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen
Pengampu : Komarudin, M.Ag
Disusun Oleh:
Siti Mutmainah (121111090)
Ummi Hanik (121111104)
Ainur Rofiq (121111107)
FAKULTAS
DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Filsafat
sebagai suatu cabang dari ilmu pengetahuan diyakini merupakan suatu disiplin
ilmu yang cukup sulit dan terkadang dianggap hantu bagi kalangan pelajar.
Kadang cabang ilmu ini menjadi sebuah cemoohan yang dihujat dan dilaknat
sebagian umat muslim yang tulen dan shalih dalam mendalami, mengkaji dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam karena dianggap berbahaya dan bisa membawa
orang yang berkecimpung didalamnya menjadi seorang kafir. Filsafat sering
difitnah sebagai sekuleristik, ateis, dan anarkis karena suka menyobek
selubung-selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi
dibalik pakaian seorang alim.[1]
Banyak
ditemukan dalam Al-Qur’an, bahwa salah satu spesifikasi sifat yang dimiliki
manusia sebagai pembeda dirinya dengan makhluk lainnya adalah anugerah akal
yang membawa konsekwensi positif konstruktif untuk menggiring manusia serba
penasaran dan ingin tahu, baik terhadap dirinya maupun terhadap alam lingkungan
sekitarnya. Kenyataan ini sungguh patut dibanggakan, karena dengan potensi akal
tadi manusia senantiasa berpikir untuk keperluan survivalitas kehidupannya
bahkan menurut uraian Al-Qur’an berikutnya, dengan kesungguhan berpikir tadi
manusia akan dapat melewati derajat malaikat.
Berpikir
kritis banyak memiliki sinonim, sebagaimana Salam, (1988: 13), mengatakan bahwa
berpikir kritis berarti pula berpikir kreatif, yaitu suatu proses berpikir
melalui akal budi yang bersifat intuitif untuk menciptakan suatu kemampuan,
memperkirakan dan membuat kesimpulan baru, asli, cerdik dan mengagumkan. Di
samping itu berpikir kritis reflektif sebenarnya menjadi sarana awal untuk
masuk pada berpikir filosofis. Manusia yang dikarunia akal oleh Tuhan semestinya
menggunakannya untuk senantiasa berpikir kritis dalam memahami alam sekitar.
Ini seperti yang dianjurkan Tuhan agar manusia bertadabbur dan bertafakur
tentang fenomena alam. [2]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa pengertian berfikir kritis?
B. Apa dasar-dasar berfikir kritis-filosofis dalam perspektif Islam?
C. Siapa sajakah
tokoh-tokoh filsuf Islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Berfikir Kritis
Berfikir
kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam
kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk,
menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berfikir kritis adalah
kemampuan untuk berpendapat dengan cara terorganisasi, kemampuan untuk
mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dari pendapat orang lain.
Berfikir
kritis juga didefinisikan sebagai aktivitas mental sistematis yang dilakukan
oleh orang-orang yang toleran dengan pikiran terbuka untuk memperluas pemahaman
mereka. Seseorang yang berpikir kritis akan berpikir secara teliti tentang apa
yang dipikirkan dan orang lain pikirkan untuk memperoleh pemahaman secara
lengkap. Mereka akan berpikir secara berurutan dan objektif.
Dalam
melaksanakan berpikir kritis, terlibat disposisi berpikir yang dicirikan
dengan: bertanya secara jelas dan beralasan, berusaha memahami dengan baik,
menggunakan sumber yang terpercaya, mempertimbangkan situasi secara
keseluruhan, berusaha tetap mengacu dan relevan ke masalah pokok, mencari
berbagai alternatif, bersikap terbuka, berani mengambil posisi, bertindak
cepat, bersikap atau berpandangan bahwa sesuatu adalah bagian dari keseluruhan
yang kompleks, memanfaatkan cara berpikir orang lain yang kritis, dan bersikap
sensisif terhadap perasaan orang lain.[3]
Al-qur’an
mendorong kita untuk berpikir. Pada Al-qur’anul Karim terdapat lebih dari 640
ayat yang mendorong manusia untuk berpikir. Oleh karena itu kita, diperintahkan
oleh Syari’at untuk menggunakan akal pikiran kita. Allah telah mengistimewakan
manusia dibandingkan dengan makhluk lainya dengan adanya akal dan kecerdasan
yang tinggi.
Agama
mendifinisikan beberapa karakteristik berpikir yang sehat, agar seseorang tidak
terjatuh dalam kesalahan dan dapat menyingkirkan rintangan-rintangan yang
melintang. Di antara karakter tersebuat adalah sebagai berikut:
1.
Meliputi dunia
dan akhirat, karena berpikir adalah manhaj kehidupan untuk mencapai tujuan
2.
Menyempurnakan
apa saja yang ada di antara dua alam, yakni alam gaib dan alam nyata, karena
lapangan kerja akal adalah alam nyata, sedangkan bidang kerja batin adalah alam
gaib.
3.
Senantiasa
melihat kepada hal-hal yang masuk akal, baik berupa asosiasi, produksi,
analisis, dan penyesuaian dengan realitas, untuk menghantarkan pengenalan
kepada Allah SWT.
4.
Mengaplikasikan
manhaj yang digunakan dengan detail dan setimbang, terutama antara ruh dengan
jasad, antara agama dengan Negara, antara agama dengan ilmu, dan dalam segala
bidang kehidupan.
5.
Melakkan
perubahan dan pembaruan, sesuai dengan waktu, tempat, perkembangan zaman, dan
persaingan.
6.
Berpegangan pada
nilai akhlak yang digariskan syari’at, untuk mewujudkan kemaslahatan di dalam
agama dan kehidupan.[4]
Dalam islam,
langkah-langkah berpikir terlihat jelas tertulis dalam Al Quran yaitu antara
lain:
a.
Q. S Al-An'am
(6) ayat 74-79, yang berbunyi:
øÎ)ur tA$s% ÞOÏdºtö/Î) ÏmÎ/L{ uy#uä äÏGs?r& $·B$uZô¹r& ºpygÏ9#uä ( þÎoTÎ) y71ur& y7tBöqs%ur Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇÐÍÈ Ï9ºxx.ur üÌçR zOÏdºtö/Î) |Nqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur tbqä3uÏ9ur z`ÏB tûüÏYÏ%qßJø9$# ÇÐÎÈ $£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù @sùr& tA$s% Iw =Ïmé& úüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù @sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u úsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$Ò9$# ÇÐÐÈ $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»t ÎoTÎ) ÖäüÌt/ $£JÏiB tbqä.Îô³è@ ÇÐÑÈ ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& ÆÏB úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÐÒÈ
Artinya: 74. “Dan (ingatlah) di
waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu
dalam kesesatan yang nyata." 75. “Dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada
Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin.” 76. “Ketika malam telah
gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam." 77. “Kemudian tatkala Dia melihat bulan
terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu
terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." 78. “Kemudian tatkala
ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih
besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku,
Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” 79.
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk
orang-orang yang mempersekutukan tuhan.”
b.
Q.S Ash-Saffat (37) ayat 95, yang
berbunyi:
tA$s% tbrßç7÷ès?r& $tB tbqçGÅs÷Ys? ÇÒÎÈ
Artinya:
“Dia (Ibrahim) berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat
itu?”
c. Q.S
Al-Anbiya (21) ayat 66-67, yang berbunyi:
tA$s% crßç7÷ètGsùr& `ÏB Âcrß «!$# $tB w öNà6ãèxÿZt $\«øx© wur öNä.ÛØt ÇÏÏÈ 7e$é& ö/ä3©9 $yJÏ9ur crßç7÷ès? `ÏB Èbrß «!$# ( xsùr& cqè=É)÷ès? ÇÏÐÈ
Artinya: 66.
"Dia (Ibrahim) berkata, "Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu
yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) mendatangkan
mudarat kepada kamu? 67. Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah!
Tidakkah kamu mengerti?"[5]
B.
Dasar-dasar
Berfikir Kritis-filosofis dalam Perspektif Islam
Pada
dasarnya tidak ada larangan didalam islam tentang mempelajari ilmu filsafat.
Bahkan islam sangat menganjurkan agar manusia berfilsafat. Hal ini tertuang
didalam Al Qur'an surat Al Ankabut ayat 20 :
ö@è% (#rçÅ Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàR$$sù y#ø2 r&yt/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yã nor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇËÉÈ
Artinya
: “Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah
menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S.
Al-Ankabut: 20)
Ayat
ini memberikan sebuah inspirasi dan motivator kepada umat islam agar melakukan
proses penelitian analisis yang mendalam terhadap apa yang ada di bumi. Kata أنظروا كيف بدأالخلق memberikan sebuah pemahaman bahwa
proses penciptaan Allah terhadap makhluk adalah sebuah proses yang perlu
mendapat perhatian yang serius, analisis yang mendalam dan juga penelitian yang
detail. Penelitian, analisis ini merupakan sebuah bagian dari kerja filsafat.
Hal ini dikarenakan filsafat secara hakiki adalah ilmu kritis.[6]
Filsuf
Cordova (Ibnu Rusyd) berpendapat bahwa mempelajari filsafat adalah perintah
yang diwajibkan oleh agama dan ditetapkan oleh syari’at. Ibnu Rusyd
menjelaskan bahwa yang di maksud dengan filsafat adalah mempelajari segala
wujud yang tampak (al maujudat) lalu mengambil pelajaran (i’tibar)
darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Pencipta dari kapasitasnya
sebagai ciptaan, dimana segala wujud yang tampak itu pada dasarnya menunjukkan
adanya Sang Pencipta dengan jalan mengetahui ciptaanNya.
Kemudian
ia menegaskan bahwa jika yang dimaksud filsafat adalah seperti pengertian
diatas dan bahwa filsafat adalah tak lebih dari mengambil pelajaran (i’tibar)
dari segala wujud yang tampak, maka tak diragukan lagi bahwa hal itu tentu
merupakan suatu kewajiban atau sekurang-kurangnya merupakan anjuran dari syari’at.
Sebab syari’at telah
mendorong untuk mempelajari seluruh eksistensi (al kainat), menyeru
untuk merenungkannya secara rasional dan mencari pengetahuan tentangnya. Hal
ini demikian jelas dalam banyak ayat yang termuat dalam Al Qur’an seperti
firman Allah Ta’ala:
“Maka
berpikirlah hai orang-orang yang berakal budi” (al Hasyr:2)
Teks (nash)
ini menunjukkan keharusan memakai kias aqli (analogi rasional) dengan
kias syar’i (analogi hukum fiqih), seperti disebutkan firman Allah
lainnya:
“Apakah mereka
tidak mempelajari apa yang terdapat di segala kerajaan (langit dan bumi) dan
segala sesuatu yang telah diciptakan Allah”, (Al A’raf: 185). Ini adalah nash
yang menganjurkan untuk meneliti (menalar) semua wujud.[7]
C.
Tokoh-tokoh
Filsuf Islam
Filsuf Islam
adalah orang yang mengambil inspirasinya dari Al Qur’an dan sunnah, dan
pandangan-pandangan filsafatnya sesuai sepenuhnya dengan pandangan-pandangan
yang diuraikan di dalamnya.[8]
1.
Filsuf Muslim di Dunia Islam Belahan
Timur:
a)
Al- Kindi
Al-
Kindi (801-873 M), di dunia Barat terkenal dengan nama alkindus. Beliau adalah
seorang tabib, ahli bintang dan filosof. Al- Kindi mengalami kemajuan pikiran
Islam dan penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk
pelopornya. Banyak buku yang telah dia karang, yang kurang lebih berjumlah 241
buah dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat dalam suasana yang penuh pertentangan
agama dan madzhab.
Al-
Kindi meninjau filsafat dari dalam dan luar. Dengan tinjauan dari dalam, ia bermaksud mengikuti
pendapat filosof- filosof besar tentang arti kata-kata “filsafat”, dan dalam
risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat, ia menyebutkan enam definisi
yang kebanyakanya bercorak platonisme,. Dengan tinjauan dari luar, ia bermaksud
memberikan sendiri definisi filsafat.
b)
Al-Farabi
Abu
Nasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M). Beliau sejak kecil suka belajar dan ia
mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Al-Farabi juga seorang
tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu
dan seorang filsuf ulung. Beliau mlebihi Al-Kindi baik memberi penjelasan dan
tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab
Yunani.
Filsafat
Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filasafat Aristoteles dan
Neo-Platonisme dengan pemikiran islam yang jelas dan corak aliran Syi’ah
Imamiah.[9]
c)
Ibnu Sina (370 H
– 428 H/980 M – 1036 M)
Sebagai
murid Al-Farabi sudah sewajarnya bila terpengaruh oleh gurunya dalam
langkah-langkah memadukan antara filsafat dan agama. Bahkan menurut Ibrahim
Madzkur keterpengaruhannya tidak tanggung-tanggung. Pemaduan tersebut dengan
cara menafsirkan aqidah-aqidah keagamaan
dengan tafsiran yang sesuai dengan akal serta membagi manusia kepada
tingkatan-tingkatan tertentu yang masing-masing mempunyai caranya
sendiri-sendiri dalam memahami, mempercayai dan membuktikan kebenaran.
d)
Ibn Maskawaih
(330 H – 421 H)
Ibn
Maskawih memang lebih tekenal dengan filsafat praktisnya yakni akhlaq dari pada
filsafat teoritis metafisikanya. Namun demikian adalah sayang untuk begitu saja
meninggalkan pandangannya untuk menunjukkan usaha memadukan filsafat dan agama.[10]
2.
Para Filsuf
Muslim di Dunia Islam Belahan Barat (Eropa):
a)
Ibnu Thufail
Ibnu
Thufail, Abu Bakar Muhammad Bin Abdul Malik adalah filsuf Andalusia yang
dilahirkan di salah satu kota dekat Granada. Pada permulaan abad VI, ada yang
mengatakan tahun 504 H. Ia mempelajari berbagai ilmu yang menjadi trend zaman
itu dan mengkaji filsafat dengan berbagai cabangnya. Ilmu kedokteran, filsafat
dan ilmu-ilmu yang lain dapat ia kuasai degan baik.
Ibnu
Thufail adalah termasuk pengagum filsafat yang representatif, meskipun
kitab-kitabnya yang sampai kepada kita hanyalah risalah atau kisah Hay Bin
Yaqdzan (Living Son of The Awake).[11]
b)
Ibnu Rusyd
Abu
al Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (Averous) lahir tahun 520 H di Cordova
yang ketika itu merupakan kota paling menonjol dan terkenal di Andalusia karena
kondisi keilmuannya. Ibnu Rusyd tumbuh di tengah-tengah keluarga yang terhormat
dan memiliki tradisi keilmuan yang baik. Ia memiliki kecerdasan, kesiapan yang
baik dan modal mental yang cukup. Ibnu Rusyd unggul dan mempunyai kemampuan
penuh baik dalam bidang fiqih, ilmu kalam, maupun ilmu kedokteran, dan
filsafat. Untuk disiplin keilmuan ini Ibnu Rusyid secara serius menulis
karya-karya terutama dalam bidang filsafat dan teologi. Karya-karya Ibnu Rusyd
yang hingga kini masih ada antara lain: Tahafut at Tahatut (karya ini
adalah sebagai jawaban terhadap Tahafut al Falasifah milik al-Ghazali), Fashl
al-Maqal, dan al Kasyf an Manahij al-Adillah. Disamping karya-karya
yang berupa komentar-komentar karya Aristoteles, hingga akhirnya ia dijuluki
sang komentator agung.[12]
IV.
KESIMPULAN
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah kami susun.
Kami berusaha untuk membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya tetapi kami juga
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena pepatah
mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kritik dan
saran yang bersifat konstrutif sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini
di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, amin.
[7]
Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama &Filsafat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 87-89.
[8]
Hasan Basari, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (terj. C.A. Qadir,
Philosophy and Science in the Islamic World), (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989). Hlm. 75.
[9]
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997). Hlm. 21-32.
[10]
Yusuf Suyono, Bersama Ibn Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi,
(Semarang: Walisongo Press, 2008). Hlm. 50-51.
[11]
Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama &Filsafat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 39-40.
[12]
Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama &Filsafat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 65-66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar