HADITS MAUDHU’
MAKALAH
Disusun sebagai bahan diskusi kelas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Bpk. Safrodin, M. Ag
DisusunOleh :
Ummi Hanik (121111104)
BADAN
PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Pada mulanya, para mutakallim berbeda pendapat
tentang benar atau tidaknya terjadi pemalsuan dalam hadis jika dilihat dari
segi periwayatan, terjadinya status ke-maudhu-an hadis di dasarkan atas
kedustaan (kidz) atau tertuduh dusta (muttaham bi al-kidz). Ibn
Katsir mensinyalir bahwa bisa saja terjadi pemalsuan hadis secara menyeluruh.
Adapun sebagian para mutakallim menolak adanya anggapan bahwa bisa saja
terjadi pemalsuan hadis secara menyeluruh, sebagian lainnnya menyatakan pada
fakta empiris sejarah masyarakat Islam, memang telah terjadi pemalsuan dalam
riwayat hadis yang banyak beredar di masyarakat. Hal ini terbukti setelah
dilakukan penelitian para ulama muhaddisin.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
ApapengertianHaditsMaudhu’ ?
B.
Apatanda-tandaHaditsMaudhu’ ?
C.
Apa yang menjadi sebab munculnya Hadits Maudhu’ ?
D.
Kitab-kitab Hadis Maudhu’
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Maudhu’
Secara Bahasa, hadits maudhu’
merupakan bentuk isim maf’ul dariوَضَعَ–يَضَع ُKata ‘وَضَعَ’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’, misalnya kalimatوَضَعَ الْجِنَا يَةَ عَنْهُ (Hakim
menggugurkan hukuman dari seseorang). Juga bermakna ‘التَّرْكُ’ (meninggalkan).
Menurut Istilah para muhaditsin
adalah
هُوَمَا نُسِب إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
إِخْتِلَا قًا وَكِذْ بًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَوْيَفْعَلْهُ أَوْيُقِرَّهُ
Artinya :Sesuatu yang di nisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara mengada-ada
dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun beliau taqrirkan.
Dari pengertian tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa hadits maudhu’ adalah segala sesuatu yang di
sandarkan kepada nabi Muhammad SAW., baik perbuatan, perkataan, maupun taqrirnya,
secara rekaan atau dusta semata. Kata-kata yang biasa dipakai untuk hadits maudhu’adalahal-mukthtalaqu,
al-muhtala’u, al-mashnu, danal-makdzub.[2]
B.
Tanda-tandaHaditsMaudhu’
1.
Tanda-tanda pada Sanad
Adapun tanda-tanda hadits maudhu’ yang terdapat pada sanad,yaitu:
a.
Atas dasar pengakuan para pembuat hadis palsu sendiri,
sebagaimana pengakuan Abu Ishmah Nuh bin Abi Maryam yang mengaku telah membuat
hadis palsu tentang fadhilah membaca al-Qur’an, surat demi surat.[3]
b.
Perawi itu terkenal berdusta (seorang pendusta) dan
hadisnya tidak diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya.
c. Menurut sejarah mereka tidak mungkin bertemu.
Perawi yang meriwayatkan hadis dari seorang syaikh yang tidak pernah berjumpa,
atau ia dilahirkan sesudah syaikh tersebut meninggal, atau tidak pernah ia datang
ke tempat syaikh itu, yang dikatakannya di sanalah ia mendengar hadits.
d. Keadaan perawi-perawi sendiri serta adanya
dorongan membuat hadits. Dapat juga diketahui bahwa hadits itu maudhu’ dengan
memperhatikan keadaan-keadaan qarinah yang mengelilingi perawi kala ia
meriwayatkan hadits tersebut.[4]
2.
Tanda-tanda pada Matan
Adapun
tanda-tanda hadits maudhu’ yang terdapat pada Matan, yaitu:
a. Lemah susunan lafal dan maknanya
Salah satu tanda ke-maudhu’-an suatu hadis adalah lemah dari segi bahasa dan maknanya. Secara
logis tidak dibenarkan bahwa ungkapan itu datang dari Rasul.
b. Rusaknya makna
Maksud rusaknya makna karena bertentangan dengan rasio yang sehat,
menyalahi kaidah kesehatan, mendorong pelampiasan biologis seks, dan lain-lain
dan tidak bisa ditakwilkan.
c. Menyalahi teks Alquran atau hadits mutawatir
Contoh hadis palsu yang bertentangan ayat Alquran misalnya:
وَلَدُ الزِّ نَا لَا يَدْ خُلُ الْجَنَّةَ
إِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاء
Anak zina itu
tidak bisa masuk surga sampai tujuh keturunan.
Hadis di atas
bertentangan dengan firman Allah SWT:
وَلَاتَزِرُوَازِرَةٌوِزْرَأُخْرَى
Dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemadharatannya kembali kepada dirinya sendiri. (QS. Al-An’am (6): 164)
d. Menyalahi realita sejarah
Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memungut jizyah (pajak)
pada penduduk Khaibar dengan disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’adz padahal Sa’ad
telah meninggal pada masa perang Khandaq sebelum kejadian tersebut. Jizyah disyari’atkan
setelah perang Tabuk pada Nashrani Najran dan Yahudi Yaman.
e. Hadis sesuai dengan madzhab perawi
Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Habbah bin Juwaini, ia berkata :
Saya mendengar Ali berkata :
عَبَدْتُ اللهَ مَعَ رَسُوْلِهِ قَبْلَ أَنْ يَعْبُدَهُ
أَحُدٌ مِنْ هَذَهِ الْأُمَّةِ خَمْسَ سِنِيْنَ أَوْسَبْعَ سِنِيْنَ
Aku menyembah
Tuhan bersama Rasul-Nya sebelum menyembah-Nya seorang pun dari umat ini lima
atau tujuh tahun.
Hadis ini
mengkultuskan Ali sesuai dengan prinsip madzhab Syi’ah, tetapi pengkultusan itu
juga tidak masuk akal, bagaimana Ali beribadah bersama Rasul lima atau tujuh
tahun sebelum umat ini.
f. Mengandung pahala yang berlebihan bagi amal
yang kecil
Misalnya:
مَنْ صَلَّى الضُّحَى كَذَا وَكَذَا رَكْعَة
أُعْطِيَ ثَوَابَ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا
Barang siapa
yang shalat dhuha sekian rakaat diberi pahala 70 nabi.
g. Sahabat dituduh menyembunyikan hadis[5]
C.
Sebab-sebabmunculnyaHaditsMaudhu’
Terdapat berbagai faktor
yang menyebabkan hadits maudhu’ ini muncul,
antara lain sebagai berikut:
1.
Pertentangan Politik dalam Soal Pemiliha Khalifah
Umat Islam pada masa Ali bin Abi Tholib (setelah
terbunuhnya Usman) terpecah menjadi beberapa golongan, yaitu: golongan yang
membela kematian khalifah Usman dan golongan yang mendukung kekhalifahan
Sayyidina Ali (Syi’ah), yang di dukung golongan Khawarij dan Muawiyah.
Golongan Syi’ah dan Rofidlah, yang pertama dan yang paling banyak membuat hadits
maudhu’ tentang keutamaan ‘Ali dan Ahli Bait. Di samping itu mereka bermaksud mencela
dan menjelek-jelekkan Abu Bakar r.a. dan ‘Umar r.a.[6]
Di
antarahadits yang di buatgolongansyi’ahitu,ialah :
مَنْ أَرَادَأَن يَنْظُرَإِلَىى أَدَمَ فِى عِلْمِهِ وَإِلَى نُوْحٍ فِى
تَقْوَاهُ وَإِلَى إِبْرَاهِيْمَ فِى حِلْمِهِ وَإِلَى مُوْ سَى فِيْ هَيْبَتِهِ وَإِلَى
عَلِيٍّ
“Barang siapa ingin melihat kepada Adam tentang
ketinggian ilmunya, ingin melihat kepada Nuh tentang ketaqwaannya, ingin
melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat kepada Musa
tentang kehebatannya, ingin melihat kepada Isa tentang ibadahnya, maka
hendaklah ia melihat kepada Ali”.
Golongan jumhur yang dungu-dungu, yang tidak
menginsafi akibat pemalsuan itu, mengimbangi pula tindakan-tindakan kaum Syi’ah.
Umpamanyahadits :
مَا فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلَّا مَكْتُوْبٌ عَلَى كُلِّ وَرَقَةٍ
مِنْهَا:لاَإِلَهَ إِلاّالَلهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللّهِ, أَبُوْ
بَكْرِالصِّدِّيْققُ, عُمَرُالْفَارُوْقُ , عُثْمَانُ ذُوْالنُّوْالنُّوْرَيْنِ
“Tak
ada sesuatu pohon dalam surga, melainkan tertulis pada tiap-tiap daunnya : la
ilahaillallah, Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar As Shiddieq, ‘Umar Al Faruq dan
Utsman Dzunnuraini”.
Golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah mereka mendakwa bahwa Nabi bersabda :
“Orang yang
kepercayaan hanya tiga orang saja. Saya, jibril dan Mu’awiyah”.
Golongan yang fanatik kepada dinasti Abbasiyah mendakwa bahwa Nabi berkata:
“Abbas itu orang yang
memelihara (mengurus) wasiyatku dan orang yang mengambil pusaka dari padaku”.[7]
2.
Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq termasuk kaum golongan yang membenci Islam, baik Islam sebagai
Agama atau sebagai dasar Pemerintahan. Hammad bin Zaid mengatakan “hadis yang
dibuat kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadis”. Contoh hadis yang dibuat oleh
golongan Zindiq ini antara lain :
اَلنَّظَرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ
صَدَقَةٌ
“Melihat
wajah cantik termasuk ibadah”.
3.
Fanatik Terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa
dan Pimpinan
Mereka membuat hadis palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik buta
serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok atau yang lain.
4.
Mempengaruhi Kaum Awam dengan Kisah dan
Nasihat
Mereka melakukan pemalsuan hadis ini guna memperoleh simpatik dari
pendengarnya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadis yang mereka
katakan terlalu berlebih-lebihan dan tidak masuk akal.
5.
Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Mereka berani melakukan pemalsuan hadis karena didorong sifat fanatik dan
ingin menguatkan mazhabnya masing-masing. Di antara hadis-hadis palsu tentang
masalah ini adalah:
a)
Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka
shalatnya tidak sah.
b)
Jibril menjadi Imamku dalam shalat di Ka’bah, ia (Jibril)
membaca basmalah dengan nyaring.
c)
Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
6.
Membangkitkan Gairah Beribadah, Tanpa Mengerti Apa Yang Dilakukan
Banyak di antara para ‘Ulama yang membuat hadis palsu dengan dan bahkan
mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah,
serta menjunjung tinggi agama-Nya.
7.
Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadis
sebagai pemalsu hadis tentang “perlombaan”.[8]
D.
Kitab-kitab Hadis Maudhu’
1.
Kitab-kitab tafsir
Kitab-kitab tafsir yang terdapat banyak hadis maudhu’antara lain :
Ats-Tsa’labi, Al-Wahidi, Az-Zamakhsyari, Al-Baidhawi, Asy-Syaukani.
2.
Kitab-kitab maudhu’ yang terkenal
Diantara kitab-kitab yang memuat hadis maudhu’ adalah sebagai berikut;
a. Tadzkirah
Al-Mawdhu’at, karya Abu Al-Fadhal Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (448-507 H). Kitab ini
menyebutkan hadis secara alphabet dan disebutkan nama perawi yang dinilai cacat
(tajrih).
b. Al-Mawdhu’at
Al-Kubra, karya Abu
Al-Faraj Abdurrahman Al-Jauzi (508-597 H) 4 jilid.
c. Al-La’ali
Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadits Al-Mawdhu’ah, karya Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H).
d. Al-Ba’its ‘ala Al-Khalash min Hawadits Al-Qashash, karya Zainuddin Abdurrahim Al-Iraqi (725-806
H).
e. Al-Fawa’id
Al-Majmu’ah fi Al-Ahadits Al-Mawdhu’ah, karya Al-Qadhi Abu Abdullah Muhamad bin Ali Asy-Syaukani
(1173-1255 H).[9]
f. Tanzihu
Asy-Syari’ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya Ibnu ‘Iraq Al-Kittani.
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan adanya unsur dibuat-buat, dusta, dan
disengaja para muhaddisin yang menolak hadis maudhu’, mempersoalkan
apakah hadis maudhu’ layak di kategorikan sebagai hadis. Dalam hal ini,
terdapat dua pandangan. Kelompok pertama, yang di wakili oleh Ibnu Shalah dan
di ikuti jumhur muhaddisin, berpendapat bahwa hadis maudhu’ merupakan
bagian dari hadis dho’if. Hanya saja, posisi tingkatan kedoi’fannya berada pada
tingkatan yang paling rendah, paling parah, serta paling rusak nilainya.
Kelompok kedua diwakili oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, yang berpendapat bahwa hadis maudhu’ bukan termasuk hadis Nabi,
baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun ketetapan.[11]
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya selesaikan dengan
tanpa suatu halangan apapun. Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan dan tak luput dari kesalahan. Maka dari itu kritik saran yang
konstruktif sangat saya harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muhammadiyah. 2008. Ilmu Hadis.Gorontalo:
Sultan Amai Press.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1974. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta : PT Bulan Bintang.
Majid Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis.Jakarta:
Amzah.
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy,Teungku. 2011. Sejarah
& Pengantar ILMU HADITS. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Suparta, Munzier.2003.Ilmu Hadis.Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits.Bogor
: Ghalia Indonesia.
Solahudin, M. AgusdanAgusSuyadi. 2008. UlumulHadits. Bandung: PustakaSetia.
[1]Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. (Bogor : Ghalia Indonesia. 2010).
hlm. 168.
[2]M.
AgusSolahudindanAgusSuyadi.UlumulHadits. (Bandung: PustakaSetia. 2008).
hlm. 171-172.
[3]Muhammadiyah Amin. Ilmu Hadis. (Gorontalo: Sultan Amai Press. 2008).
hlm. 73.
[4]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah & Pengantar ILMU
HADITS. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2011). hlm. 184-185.
[5]Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. (Jakarta: Amzah. 2009). hlm.
210-213.
[6]M.
AgusSolahudindanAgusSuyadi.UlumulHadits. … hlm. 176
[7]M. Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. (Jakarta
: PT Bulan Bintang. 1974). hlm. 246-248.
[8]Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
2003). hlm. 183-187.
[9]Abdul Majid Khon. Ulumul Hadis. ... hlm. 215-216.
[11]Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. ... hlm. 167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar