PRO DAN KONTRA PERDA SYARI’AT DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : Dr., Moh. Fauzi, M. Ag
Disusun
Oleh :
Ummi
Hanik
(121111104)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Menurut catatan sejarah, tokoh-tokoh politik Islam
menjelang kemerdekaan sudah bertekad untuk membentuk negara Indonesia yang
bercorak Islam, setidaknya bisa diberlakukan hukum Islam bagi orang yang
beragama Islam. Usaha mereka ini terlihat pada draf Pembukaan bagi UUD
Indonesia, yang terkenal sebagai “Piagam Jakarta”. Namun karena banyak kalangan
Kristen dari Indonesia bagian Timur yang tidak menyetujuinya, maka kemudian ada
perubahan pada UUD yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut.
Menurut pengamatan B.J. Boland, setelah para tokoh
Islam tidak berhasil memperjuangkan Indonesia sebagai negara Islam, bahkan
tidak berhasil pula untuk memberlakukan hukum Islam secara keseluruhan yang
berlaku bagi umat Islam, maka mereka berusaha melakukan peng-Islam-an bangsa
Indonesia secara perlahan-lahan, seperti melakukan usaha untuk memberlakukan
hukum Islam walaupun hanya pada masalah-masalah tertentu, seperti hukum
perkawinan dan kewarisan.
Kegagalan kelompok Islamis melakukan ideologisasi
negara atas dasar Islam karena hambatan struktural, mendorong kelompok ini
mengubah strateginya melalui formalisasi (legislasi) pada tingkat daerah
dengan membuat Perda syariat-syariat dan Qanun untuk kasus Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini menunjukkan perubahan strategi dari
proses top-down menjadi proses buttom-up.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Pengertian
Perda Syari’at
B. Daerah-daerah di
Indonesia yang memiliki Perda Syari’at
C. Pro dan kontra
yang di timbulkannya
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perda Syari’at
Kata
“syari’at” digunakan dalam Islam bermakna “bahwa syari’at Islam adalah jalan
atau metode Islam”. Kemudian kata itu ditransformasikan pada setiap hukum
agama, sehingga “syari’at” menjadi bermakna “setiap sesuatu yang terdapat dalam
Al-Qur’an, seperti jalan-jalan agama, aturan ibadah, legislasi hukum, dan
muamalah”. Akhirnya, maknanya menjadi “segala hukum agama, aturan ibadah,
legislasi hukum, dan muamalah; segala yang terdapat dalam hadis nabi; segala
pendapat para ahli fiqh, mufassir, pandangan para komentator, dan ajaran-ajaran
tokoh agama. Oleh karena itu, sumber-sumber hukum syari’at yang dinyatakan
melampaui kata “syari’at” menurut pandangan ulama Islam ada empat, yaitu
Al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas.
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah
adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang
bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan
Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak sama antara istilah syari'ah
yang dipahami secara umum oleh orang ketika membicarakan perda syari'ah dengan
syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah
dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas.
Syari'ah dalam arti sempit berarti teks-teks wahyu atau hadis yang
menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah teks-teks
wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak. Dalam
hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks Perda syari'ah
nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit. Namun hal ini tetap
saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah
teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi manusia. Sedangkan yang dijadikan
perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan
pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks.
Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi
manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini
disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang
mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan
bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar
kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa
Indonesia disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan
Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber
dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun
wadh'i. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta
Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah
teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih memerlukan
penjelasan dan penafsiran para ulama.
Istilah syari'ah ini di Indonesia
nampaknya tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi suatu istilah yang
ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran Islam
dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari
pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa
syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha), terutama yang
menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah ekonomi
syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain sebagainya.
Jadi, istilah syari'ah walaupun
diambil dari bahasa Arab, tapi tidak mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu
perlu dipertegas secara operasional makna ini, sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman dalam memaknai dan menggunakannya.
B. Daerah-daerah di Indonesia yang memiliki Perda
Syari’at
Dengan
diundangkannya UU Otonomi Daerah tahun 1999, khususnya UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, ada peluang bagi masing-masing daerah
untuk membuat Peraturan
Daerah (Perda) yang menyangkut pemberlakuan hukum Islam, asal tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi (pasal 70). Dengan demikian masing-masing daerah dapat
membuat Perda atas usulan pemerintah daerah dan disetujui oleh DPRD (pasal 69)
mengenai hukum perdata Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan
perundangan yang lain.
Hal di atas
berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh. Dengan adanya UU No. 44 tahun 1999
tentang Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, kemudian diikuti dengan UU No. 18
tahun 2001 tentang Otonmi Khusus Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka terbuka
peluang yang cukup luas bagi syari’at atau hukum Islam untuk menjadi Hukum Terapan dan adanya kanun yang memberi wewenang untuk
membentuk lembaga-lembaga hukum Islam di wilayah Aceh.
Beberapa Perda Syari’at di beberapa
daerah otonom :
1. Provinsi Aceh
a. NAD; Perda
NAD No. 7/2004 tentang Pengelolaan
Zakat
2. Provinsi
Sumatera Barat
a. Padang Pariaman;
Peraturan daerah Kabupaten Padang Pariaman nomor 02 Tahun 2004 Tentang
Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat
b. Padang Panjang; Peraturan
Daerah Padang Panjang No.3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Pemberantasan dan
Penindakan Penyakit Masyarakat.
c. Bukittinggi; Perda Kab.
Bukit Tinggi No. 29/2004 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh
d. Pesisir Selatan; Perda Kab.
Pesisir Selartan No. 8/2004 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an Provinsi
Bengkulu
e. Bengkulu;Instruksi
Walikota Bengkulu No. 3/2004 tentang Program Kegiatan Peningkatan Keimanan
3. Provinsi Lampung
a. Lampung
Selatan; Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan No. 4 Tahun 2004 Tentang
Larangan Pebuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta pencegahan
perbuatan masksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan
4. Provinsi Banten
a. Banten;
Perda No. 4/2004 tentang Pengelolaan Zakat
b. Pandeglang;
SK Bupati Kab Pandeglang No. 09 Tahun 2004 tentang seragam sekolah SD,SMP, SMU
5. Provinsi Jawa Barat
a. Sukabumi; Instruksi
Bupati Sukabumi Nomor 4 Tahun 2004 tentang pemakaian Busana Muslim bagi Siswa
dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi.
b. Cirebon; Perda Kab.
Cirebon No. 77/2004 tentang Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah
6. Provinsi Kalimantan Selatan
a. Banjarmasin; Perda Kota
Banjarmasin No. 31/2004 tentang Pengelolaan Zakat
b. Banjarmasin;
Perda Kab. Banjar No. 5/2004 tentang Ramadan (Perubahan Perda Ramadan No. 10
tahun 2001)
c. Banjarmasin;
Surat Edaran Bupati Kabupaten Banjarmasin No. 065.2/00023/ORG Tentang pemakaian
Jilbab bagi PNS Perempuan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjarmasin
Tertanggal 12 Januari 2004
d. Banjarmasin;
Perda Kab. Banjar No. 4/2004 tentang Khatam Al-Qur'an bagi Peserta Didik pada
Pendidikan Dasar dan Menengah
7. Provinsi NTB
a.
Dompu; SK. Bupati Dompu No Kd.19.05./HM.00/1330/2004, Tentang Pengembangan Perda
No. 1 Tahun 2002. Isinya nebyebutkan tentang: (1) Kewajiban membaca Alquran
(ngaji) bagi PNS yang akan mengambil SK/Kenaikan pangkat, Calon pengantin,
Calon siswa SMP dan SMU, dan bagi siswa yang akan mengambil ijazah ; (2)
Kewajiban memakai busana Muslim (Jilbab); (3) Kewajiban mengembangkan budaya
Islam (MTQ, qosidah dll)
C. Pro dan Kontra Perda Syari’at
Lahirnya
berbagai peraturan perundang-undangan pada level daerah tentang Syari’at
tersebut mengundang tanggapan pro dan kontra. Bahkan polemik tersebut
melibatkan kalangan anggota DPR. Perdebatan pro-kontra tersebut mencuat lebih
intens sekitar Juni 2006.
Kelompok
yang pro berpendapat bahwa Perda Syari’at tidak bertentangan dengan konstitusi
Indonesia. Karena, subtansi materi yang diatur di dalamnya merupakan wewenamg
daerah merupakan hasil otonomi hokum yang diberikan melalui asas desentralisasi. Di samping itu, Perda
Syari’at justru membawa dampak positif dalam membangun moral bangsa. Kelompok
yang pro juga berargumentasi bahwa pembuatan Perda Syari’at mempunyai akar
historis, seperti adanya Piagam Madinah
pada masa pemerintahan Rasulullah di Madinah dan adanya Majallah al-Ahkam al’Adliyyah pada masa Turki Usmani.
Sementara
kelompok yang kontra memandang Perda Syari’at Islam tersebut justru tidak
sejalan dengan nilai-nilai universal ajaran Islam, seperti : keadilan,
perlindungan HAM, kesetaraan gender, egaliter, dan lain-lain. Bahkan Perda
tersebut memunculkan problematika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di
antaranya berupa konflik horizontal antar kelompok yang pro dan yang kontra.
Hal ini terjadi karena masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya dengan
teguh. Misalnya pada bulan Nopember 2001, terjadi konfrontasi fisik antara
Laskar Jihad dan pengurus PDI_P Cabang Ngawi Jawa Timur berkaitan dengan upaya
keras untuk menerapkan Syari’at Islam pada tingkatan yang lebih luas.
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah
adalah suatu peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang
bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan
Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Yang dijadikan perda syari'ah
tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau
penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini
sudah banyak terjadi intervensi manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi
manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini
disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang
mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah).
Pada akhirnya Perda Syari’at yang
ada di Indonesia menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, yang pada
keadaan terparahnya hingga menimbulkan konfrontasi fisik. Masing-masing
kalangan mempertahankan pendapatnya dengan sangat kuat, dan tidak ingin
terbantahkan oleh pendapat kelompok lain.
Sesungguhnya
dengan adanya Perda Syariat di beberapa daerah di Indonesia itu membawa dampak
baik serta dampak buruk secara umum. Terlepas dari keinginan dan tujuan
berbagai kalangan terkait.
B. Kritik dan Saran
Alhamdulillah, demikianlah makalah yang
dapat saya selesaikan dengan tanpa suatu halangan apapun. Saya menyadari dalam
pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan tak luput dari kesalahan.
Maka dari itu kritik saran yang konstruktif sangat saya harapkan guna perbaikan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin
DAFTAR PUSTAKA