Minggu, 06 Juli 2014


SILOGISME HIPOTETIK


RESUME
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Logika
Dosen Pengampu : Bapak Dr. Ilyas Supena, M. Ag

Description: logo.png
 










Disusun Oleh :
Ulya Linatuzzahro’                          (121111103)
Ummi Hanik                                     (121111104)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
SILOGISME HIPOTETIK
A.    PENGERTIAN
Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi kategorik yang menetapkan atau mengingkari term antecedent atau term konsekuen premis mayornya.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:
1.   Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika banjir, masyarakat pergi mengungsi.
Sekarang banjir.
Jadi masyarakat pergi mengungsi.
2.   Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian konsekuennya, seperti:
Bila gempa, gedung-gedung akan rusak.
Sekarang gedung-gedung telah rusak.
Jadi gempa telah terjadi.
3.   Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedet, seperti:
Jika para penguasa terus melakukan korupsi, maka masyarakat akan semakin menderita.
Para penguasa tidak melakukan korupsi.
Jadi masyarakat tidak akan semakin menderita.
4.   Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa berpakaian sopan, pihak dosen akan tenang.
Pihak dosen tidak tenang.
Jadi mahasiswa tidak berpakaian sopan.

B.     HUKUM-HUKUM SILOGISME HIPOTETIK
PRO DAN KONTRA PERDA SYARI’AT DI INDONESIA


MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : Dr., Moh. Fauzi, M. Ag

Description: logo.png
 










Disusun Oleh :
Ummi Hanik                                     (121111104)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
       I.         PENDAHULUAN

Menurut catatan sejarah, tokoh-tokoh politik Islam menjelang kemerdekaan sudah bertekad untuk membentuk negara Indonesia yang bercorak Islam, setidaknya bisa diberlakukan hukum Islam bagi orang yang beragama Islam. Usaha mereka ini terlihat pada draf Pembukaan bagi UUD Indonesia, yang terkenal sebagai “Piagam Jakarta”. Namun karena banyak kalangan Kristen dari Indonesia bagian Timur yang tidak menyetujuinya, maka kemudian ada perubahan pada UUD yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut.
Menurut pengamatan B.J. Boland, setelah para tokoh Islam tidak berhasil memperjuangkan Indonesia sebagai negara Islam, bahkan tidak berhasil pula untuk memberlakukan hukum Islam secara keseluruhan yang berlaku bagi umat Islam, maka mereka berusaha melakukan peng-Islam-an bangsa Indonesia secara perlahan-lahan, seperti melakukan usaha untuk memberlakukan hukum Islam walaupun hanya pada masalah-masalah tertentu, seperti hukum perkawinan dan kewarisan.[1]
Kegagalan kelompok Islamis melakukan ideologisasi negara atas dasar Islam karena hambatan struktural, mendorong kelompok ini mengubah strateginya melalui formalisasi (legislasi) pada tingkat daerah dengan membuat Perda syariat-syariat dan Qanun untuk kasus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini menunjukkan perubahan strategi dari proses top-down menjadi proses buttom-up.[2]

    II.            RUMUSAN MASALAH

A.    Pengertian Perda Syari’at
B.     Daerah-daerah di Indonesia yang memiliki Perda Syari’at
C.     Pro dan kontra yang di timbulkannya
 III.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perda Syari’at
Kata “syari’at” digunakan dalam Islam bermakna “bahwa syari’at Islam adalah jalan atau metode Islam”. Kemudian kata itu ditransformasikan pada setiap hukum agama, sehingga “syari’at” menjadi bermakna “setiap sesuatu yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti jalan-jalan agama, aturan ibadah, legislasi hukum, dan muamalah”. Akhirnya, maknanya menjadi “segala hukum agama, aturan ibadah, legislasi hukum, dan muamalah; segala yang terdapat dalam hadis nabi; segala pendapat para ahli fiqh, mufassir, pandangan para komentator, dan ajaran-ajaran tokoh agama. Oleh karena itu, sumber-sumber hukum syari’at yang dinyatakan melampaui kata “syari’at” menurut pandangan ulama Islam ada empat, yaitu Al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas.[3]
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu  peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Tidak sama antara istilah syari'ah yang dipahami secara umum oleh orang ketika membicarakan perda syari'ah dengan syari'ah dalam kajian hukum Islam. Dalam kajian hukum Islam istilah Syari'ah dibedakan antara syari'ah dalam arti sempit dan syari'ah dalam arti luas. Syari'ah dalam arti sempit  berarti teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut masalah hukum normatif. Sedangkan dalam arti luas adalah teks-teks wahyu atau hadis yang menyangkut aqidah (keyakinan), hukum dan akhlak. Dalam hal ini syari'ah berarti teks ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks Perda syari'ah nampaknya yang digunakan adalah syari'ah dalam arti sempit. Namun hal ini tetap saja berbeda pengertian syari'ah tersebut, karena yang dimaksud syari'ah adalah teks wahyu atau hadis yang tidak ada intervensi manusia. Sedangkan yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah). Dalam konteks kehidupan bernegara hasil ijtihad ini dijadikan hukum hukum positif atas dasar kesepakatan legislatif. Hukum ini dikenal dengan qanun, yang dalam bahasa Indonesia disebut undang-undang. Bila sumber pembentukan qanun itu Alqur'an dan Sunnah disebutlah ia dengan qanun syar'i. Akan tetapi bila bersumber dari semata pemikiran manusia atau sumber-sumber selain wahyu dinamakan dengan qanun wadh'i. Qanun inilah nampaknya yang diinginkan berlaku oleh para pencinta Perda Syari'ah, bukan syari'ah atau hukum syar'i, karena syari'ah adalah teks-teks asli dari Alqur'an atau Hadis yang sebagian besar masih memerlukan penjelasan dan penafsiran para ulama.
Istilah syari'ah ini di Indonesia nampaknya tidak lagi mengacu pada makna aslinya, akan tetapi suatu istilah yang ingin memperlihatkan secara nyata mana aturan yang bersumber dari ajaran Islam dan mana pula yang tidak bersumber dari ajaran Islam, yang dalam hal ini dari pemikiran manusia belaka. Walaupun sebenarnya dalam aplikasi yang bernuansa syari'ah itu banyak mengadopsi pemikiran manusia (ulama/fukaha), terutama yang menyangkut mu'amalah. Hal ini terlihat dari kemunculan istilah ekonomi syari'ah, bank syari'ah, asuransi syari'ah dan lain-lain sebagainya.
Jadi, istilah syari'ah walaupun diambil dari bahasa Arab, tapi tidak mengadopsi ma'na aslinya. Oleh karena itu perlu dipertegas secara operasional makna ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai dan menggunakannya.[4]

B.     Daerah-daerah di Indonesia yang memiliki Perda Syari’at
      Dengan diundangkannya UU Otonomi Daerah tahun 1999, khususnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ada peluang bagi masing-masing daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) yang menyangkut pemberlakuan hukum Islam, asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 70). Dengan demikian masing-masing daerah dapat membuat Perda atas usulan pemerintah daerah dan disetujui oleh DPRD (pasal 69) mengenai hukum perdata Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan perundangan yang lain.
      Hal di atas berbeda dengan apa yang terjadi di Aceh. Dengan adanya UU No. 44 tahun 1999 tentang Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, kemudian diikuti dengan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonmi Khusus Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka terbuka peluang yang cukup luas bagi syari’at atau hukum Islam untuk menjadi Hukum Terapan dan adanya kanun yang memberi wewenang untuk membentuk lembaga-lembaga hukum Islam di wilayah Aceh.[5]
Beberapa Perda Syari’at di beberapa daerah otonom :
1.      Provinsi Aceh
a.       NAD; Perda NAD No. 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat
2.      Provinsi Sumatera Barat
a.       Padang Pariaman; Peraturan daerah Kabupaten Padang Pariaman nomor 02 Tahun 2004 Tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat
b.      Padang Panjang; Peraturan Daerah Padang Panjang No.3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat.
c.       Bukittinggi; Perda Kab. Bukit Tinggi No. 29/2004 tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh
d.      Pesisir Selatan; Perda Kab. Pesisir Selartan No. 8/2004 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an Provinsi Bengkulu
e.       Bengkulu;Instruksi Walikota Bengkulu No. 3/2004 tentang Program Kegiatan Peningkatan Keimanan
3.      Provinsi Lampung
a.       Lampung Selatan; Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan No. 4 Tahun 2004 Tentang Larangan Pebuatan Prostitusi, Tuna Susila, dan Perjudian serta pencegahan perbuatan masksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan
4.      Provinsi Banten
a.       Banten; Perda No. 4/2004 tentang Pengelolaan Zakat
b.      Pandeglang; SK Bupati Kab Pandeglang No. 09 Tahun 2004 tentang seragam sekolah SD,SMP, SMU
5.      Provinsi Jawa Barat
a.       Sukabumi; Instruksi Bupati Sukabumi Nomor 4 Tahun 2004 tentang pemakaian Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi.
b.      Cirebon; Perda Kab. Cirebon No. 77/2004 tentang Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah
6.      Provinsi Kalimantan Selatan
a.       Banjarmasin; Perda Kota Banjarmasin No. 31/2004 tentang Pengelolaan Zakat
b.      Banjarmasin; Perda Kab. Banjar No. 5/2004 tentang Ramadan (Perubahan Perda Ramadan No. 10 tahun 2001)
c.       Banjarmasin; Surat Edaran Bupati Kabupaten Banjarmasin No. 065.2/00023/ORG Tentang pemakaian Jilbab bagi PNS Perempuan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjarmasin Tertanggal 12 Januari 2004
d.      Banjarmasin; Perda Kab. Banjar No. 4/2004 tentang Khatam Al-Qur'an bagi Peserta Didik pada Pendidikan Dasar dan Menengah
7.      Provinsi NTB
a.       Dompu; SK. Bupati Dompu No Kd.19.05./HM.00/1330/2004, Tentang Pengembangan Perda No. 1 Tahun 2002. Isinya nebyebutkan tentang: (1) Kewajiban membaca Alquran (ngaji) bagi PNS yang akan mengambil SK/Kenaikan pangkat, Calon pengantin, Calon siswa SMP dan SMU, dan bagi siswa yang akan mengambil ijazah ; (2) Kewajiban memakai busana Muslim (Jilbab); (3) Kewajiban mengembangkan budaya Islam (MTQ, qosidah dll)[6]

C.    Pro dan Kontra Perda Syari’at
      Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan pada level daerah tentang Syari’at tersebut mengundang tanggapan pro dan kontra. Bahkan polemik tersebut melibatkan kalangan anggota DPR. Perdebatan pro-kontra tersebut mencuat lebih intens sekitar Juni 2006.
      Kelompok yang pro berpendapat bahwa Perda Syari’at tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Karena, subtansi materi yang diatur di dalamnya merupakan wewenamg daerah merupakan hasil otonomi hokum yang diberikan melalui asas desentralisasi. Di samping itu, Perda Syari’at justru membawa dampak positif dalam membangun moral bangsa. Kelompok yang pro juga berargumentasi bahwa pembuatan Perda Syari’at mempunyai akar historis, seperti adanya Piagam Madinah pada masa pemerintahan Rasulullah di Madinah dan adanya Majallah al-Ahkam al’Adliyyah pada masa Turki Usmani.
      Sementara kelompok yang kontra memandang Perda Syari’at Islam tersebut justru tidak sejalan dengan nilai-nilai universal ajaran Islam, seperti : keadilan, perlindungan HAM, kesetaraan gender, egaliter, dan lain-lain. Bahkan Perda tersebut memunculkan problematika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di antaranya berupa konflik horizontal antar kelompok yang pro dan yang kontra. Hal ini terjadi karena masing-masing kelompok mempertahankan pendapatnya dengan teguh. Misalnya pada bulan Nopember 2001, terjadi konfrontasi fisik antara Laskar Jihad dan pengurus PDI_P Cabang Ngawi Jawa Timur berkaitan dengan upaya keras untuk menerapkan Syari’at Islam pada tingkatan yang lebih luas.[7]

 IV.            PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perda (Peraturan Daerah) Syari'ah adalah suatu  peraturan yang bermuatan nilai dan atau norma Islam yang bersumber dari Alqur'an dan Sunnah yang berlaku di suatu daerah. Peraturan Daerah merupakan urutan terendah dalam urutan tata hukum di Indonesia.
Yang dijadikan perda syari'ah tidaklah teks-teks wahyu atau hadis, akan tetapi sudah merupakan pehaman atau penafsiran dari teks tersebut, sekurang-kurangnya terjemahan teks. Di sini sudah banyak terjadi intervensi manusia.
Produk hukum yang sudah diintervensi manusia tidak lagi bernama syari'ah. Dalam terminologi hukum Islam hukum ini disebut fiqh. Dalam hal ini fiqh merupakan hasil ijtihad ulama atau fukaha yang mengacu pada dalil Alqur'an dan atau Sunnah (syari'ah).
Pada akhirnya Perda Syari’at yang ada di Indonesia menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan, yang pada keadaan terparahnya hingga menimbulkan konfrontasi fisik. Masing-masing kalangan mempertahankan pendapatnya dengan sangat kuat, dan tidak ingin terbantahkan oleh pendapat kelompok lain.
Sesungguhnya dengan adanya Perda Syariat di beberapa daerah di Indonesia itu membawa dampak baik serta dampak buruk secara umum. Terlepas dari keinginan dan tujuan berbagai kalangan terkait.

B.     Kritik dan Saran
Alhamdulillah, demikianlah makalah yang dapat saya selesaikan dengan tanpa suatu halangan apapun. Saya menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan tak luput dari kesalahan. Maka dari itu kritik saran yang konstruktif sangat saya harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
















DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Moh.. 2008.Formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Semarang : Walisongo Press.
Nasution, Khoiruddin. 2007.Isu-isu Kontemporer Hukum Islam. Yogyakarta :SUKA PRESS.
Said Al-Asymawi, Muhammad. 2004.Nalar Kritis Syari’ah. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta.
hukumagama, akses pada sabtu 14 September 2013.






[1] Khoiruddin Nasution, Isu-isu Kontemporer Hukum Islam, (Yogyakarta : SUKA PRESS, 2007), Hlm. 119-122.
[2] Moh. Fauzi, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Semarang : Walisongo Press, 2008), Hlm. Vii.
[3] Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2004), Hlm. 23.
[5] Khoiruddin Nasution, Isu-isu Kontemporer Hukum Islam, (Yogyakarta :SUKA PRESS, 2007), Hlm. 125
[7]Moh. Fauzi, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, (Semarang : Walisongo Press, 2008), Hlm. 4-5.